Jenis sastra yang dihasilkan pada periode 1920 balai pustaka ini sebagian besar yaitu roman. Selain itu, ada juga jenis sastra berbentuk puisi yang berupa syair dan pantun. Puisi berupa syair dan pantun tersebut umumnya disisipkan dalam roman untuk memberi nasihat kepada pembaca.
Berikut ini ciri-ciri karya sastra angkatan Balai Pustaka.
a. Gaya bahasa mempergunakan perumpamaan klise, pepatah, dan peribahasa.
Contoh:
. . . .
Tatkala itu bulan bercahaya bagaikan siang. Bintang-bintang yang serupa mestika, berkilauan-kilauan di langit tinggi, sebagai kunang-kunang di tempat yang gelap. Awan berarak beriringiring dari barat kemudian ke timur.
. . . .
b. Alur yang dipakai sebagian besar alur lurus. Namun, ada juga yang mempergunakan alur sorot balik, contohnya Azab dan Sengsara dan Di Bawah Lindungan Ka’bah.
c. Teknik penokohan dan perwatakannya memakai analisis langsung.
Contoh:
. . . .
Badannya kurus tinggi, punggungnya bungkuk udang, dadanya cekung, serta kakinya pengkar, kepalanya besar, tetapi tipis di muka, serta sulah pula. Rambutnya tinggal sedikit sekeliling kepalanya itu, telah putih sebagai kapas di busur. Misai dan janggutnya panjang, tetapi hanya beberapa helai saja, tergantung pada dagu dan ujung bibirnya, melengkung ke bawah.
Umurnya lebih dari setengah abad. Matanya kecil, tetapi tajam, hidungnya bungkuk, mulutnya besar, giginya hitam dan kotor, yang di muka keluar sebagai gigi tupai. Telinganya besar, menyerupai indera pendengaran gajah, kulit mukanya berkarut-marut dan penuh dengan bekas penyakit cacar.
. . . .
d. Pusat pengisahannya pada umumnya mempergunakan metode orang ketiga. Ada juga roman yang mempergunakan metode orang pertama, contohnya Kehilangan Mestika dan Di Bawah Lindungan Ka’bah.
e. Banyak sisipan-sisipan insiden yang tidak eksklusif bekerjasama dengan inti cerita, menyerupai uraian adat, dongengdongeng, syair, dan pantun nasihat.
Contoh:
. . . .
Jika ada sumur di ladang, tentulah boleh menumpang mandi.
Jika ada umur yang panjang, tentulah sanggup bertemu lagi.
. . . .
Contoh:
. . . .
Ingat-ingat engkau di negeri orang, Samsu!” kata ibunya.
Tahu-tahu membawakan diri: mandi di hilir-hilir, berkata di bawah-bawah. Janganlah disamakan saja dengan di sini; janganlah disangka masih anak orang berpangkat juga di sana, alasannya engkau akan bangun sendiri lagi, jauh daripada kami, sekalian.
. . . .
g. Bercorak romantis, melarikan diri dari dilema kehidupan seharihari yang menekan.
Contoh:
. . . .
Semalam ini kita sanggup bersendau gurau, besok kakanda tak ada lagi, kata Samsu pula, sambil mencium punggung tangan kekasihnya yang halus itu, beberapa kali.
. . . .
h. Permasalahan adat, terutama dilema watak kawin paksa, permaduan, dan sebagainya.
Contoh:
. . . .
”Aku tahu, Nur, bahwa engkau tiada suka kepada Datuk
Meringgih,” kata ayahku pada malam itu kepadaku. ”Pertama umurnya telah tua, kedua lantaran rupanya tak elok, ketiga lantaran tabiatnya keji. Itulah sebabnya beliau bukan jodohmu.”
. . . .
”Jika engkau sudi menjadi istri Datuk Meringgih, selamatlah aku, tak masuk dalam penjara dan tentulah tiada akan terjual rumah dan tanah kita ini. Akan tetapi jikalau tak sudi engkau, niscaya
saya dan sekalian kata yang masih ada ini, akan jatuh ke dalam tangannya.”
i. Pertentangan paham antara kaum bau tanah dengan kaum muda. Kaum bau tanah mempertahankan watak lama, sedangkan kaum muda menghendaki kemajuan berdasarkan paham kehidupan modern.
Contoh:
. . . .
”Ibu orang kampung dan perasaan ibu kampung semua,”
demikian beliau berkata, kalau ibunya membuatkan permadani di beranda belakang, buat menanti tamu yang sesama tuanya. ”Di rumah gadang, di Koto Anau, tentu boleh duduk menabur lantai
sepenuh rumah, tapi di sini kita dalam kota, tamuku orang Belanda saja.”
”Penat pinggangku duduk di bangku dan berasa pirai kakiku duduk berjuntai, Hanafi,” sahut ibunya. ”Kesenangan ibu hanyalah duduk di bawah, alasannya sejak ingatku duduk di bawah saja.”
”Itu salahnya, ibu, bangsa kita dari kampung; tidak suka menurutkan putaran jaman. Lebih suka duduk rungkuh dan duduk mengukul saja sepanjang hari. Tidak ubah dengan kerbau bangsa kita, Bu! Dan segala sirih menyirih itu . . . brrrr!”
. . . .
j. Latar kisah pada umumnya latar daerah, pedesaan, dan kehidupan daerah. Misalnya, novel Sitti Nurbaya mempunyai latar tempat di kawasan Padang.
k. Cerita bermain pada zaman sekarang, bukan di tempat dan zaman antah-berantah.
l. Cita-cita kebangsaan belum dipermasalahkan, dilema masih bersifat kedaerahan.
Contoh:
. . . .
”Uang belasting? Uang apa pula itu?” tanya Datuk Malelo dengan senyum merengut. ”Ada-ada saja kompeni itu, untuk mencari uang. Dan siapakah yang akan susah lantaran hukum itu?”
. . . .
a. Gaya bahasa mempergunakan perumpamaan klise, pepatah, dan peribahasa.
Contoh:
. . . .
Tatkala itu bulan bercahaya bagaikan siang. Bintang-bintang yang serupa mestika, berkilauan-kilauan di langit tinggi, sebagai kunang-kunang di tempat yang gelap. Awan berarak beriringiring dari barat kemudian ke timur.
. . . .
Dikutip dari: Sitti Nurbaya Kasih Tak Sampai, Marah Rusli,
Balai Pustaka, Jakarta, 1988
Dalam kutipan di atas tampak bahwa novel Sitti Nurbaya menggunakan gaya bahasa yang mengandung perumpamaan klise.b. Alur yang dipakai sebagian besar alur lurus. Namun, ada juga yang mempergunakan alur sorot balik, contohnya Azab dan Sengsara dan Di Bawah Lindungan Ka’bah.
c. Teknik penokohan dan perwatakannya memakai analisis langsung.
Contoh:
. . . .
Badannya kurus tinggi, punggungnya bungkuk udang, dadanya cekung, serta kakinya pengkar, kepalanya besar, tetapi tipis di muka, serta sulah pula. Rambutnya tinggal sedikit sekeliling kepalanya itu, telah putih sebagai kapas di busur. Misai dan janggutnya panjang, tetapi hanya beberapa helai saja, tergantung pada dagu dan ujung bibirnya, melengkung ke bawah.
Umurnya lebih dari setengah abad. Matanya kecil, tetapi tajam, hidungnya bungkuk, mulutnya besar, giginya hitam dan kotor, yang di muka keluar sebagai gigi tupai. Telinganya besar, menyerupai indera pendengaran gajah, kulit mukanya berkarut-marut dan penuh dengan bekas penyakit cacar.
. . . .
Dikutip dari: Sitti Nurbaya Kasih Tak Sampai, Marah Rusli,
Balai Pustaka, Jakarta, 1988
Dalam kutipan tersebut bentuk fisik Datuk Meringgih digambarkan secara langsung.d. Pusat pengisahannya pada umumnya mempergunakan metode orang ketiga. Ada juga roman yang mempergunakan metode orang pertama, contohnya Kehilangan Mestika dan Di Bawah Lindungan Ka’bah.
e. Banyak sisipan-sisipan insiden yang tidak eksklusif bekerjasama dengan inti cerita, menyerupai uraian adat, dongengdongeng, syair, dan pantun nasihat.
Contoh:
. . . .
Jika ada sumur di ladang, tentulah boleh menumpang mandi.
Jika ada umur yang panjang, tentulah sanggup bertemu lagi.
. . . .
Dikutip dari: Sitti Nurbaya Kasih Tak Sampai, Marah Rusli,
Balai Pustaka, Jakarta, 1988
f. Bersifat didaktis. Sifat ini besar lengan berkuasa sekali pada gaya penceritaan dan struktur penceritaannya. Semuanya ditujukan kepada pembaca untuk memberi nasihat.Contoh:
. . . .
Ingat-ingat engkau di negeri orang, Samsu!” kata ibunya.
Tahu-tahu membawakan diri: mandi di hilir-hilir, berkata di bawah-bawah. Janganlah disamakan saja dengan di sini; janganlah disangka masih anak orang berpangkat juga di sana, alasannya engkau akan bangun sendiri lagi, jauh daripada kami, sekalian.
. . . .
Dikutip dari: Sitti Nurbaya Kasih Tak Sampai, Marah Rusli,
Balai Pustaka, Jakarta, 1988
Isi kutipan di atas memberi nasihat kepada Samsul bahrig. Bercorak romantis, melarikan diri dari dilema kehidupan seharihari yang menekan.
Contoh:
. . . .
Semalam ini kita sanggup bersendau gurau, besok kakanda tak ada lagi, kata Samsu pula, sambil mencium punggung tangan kekasihnya yang halus itu, beberapa kali.
. . . .
Dikutip dari: Sitti Nurbaya Kasih Tak Sampai, Marah Rusli,
Balai Pustaka, Jakarta, 1988
Dari kutipan tersebut sanggup diketahui bahwa novel Sitti Nurbaya Kasih Tak Sampai bercorak romantis.h. Permasalahan adat, terutama dilema watak kawin paksa, permaduan, dan sebagainya.
Contoh:
. . . .
”Aku tahu, Nur, bahwa engkau tiada suka kepada Datuk
Meringgih,” kata ayahku pada malam itu kepadaku. ”Pertama umurnya telah tua, kedua lantaran rupanya tak elok, ketiga lantaran tabiatnya keji. Itulah sebabnya beliau bukan jodohmu.”
. . . .
”Jika engkau sudi menjadi istri Datuk Meringgih, selamatlah aku, tak masuk dalam penjara dan tentulah tiada akan terjual rumah dan tanah kita ini. Akan tetapi jikalau tak sudi engkau, niscaya
saya dan sekalian kata yang masih ada ini, akan jatuh ke dalam tangannya.”
Dikutip dari: Sitti Nurbaya Kasih Tak Sampai, Marah Rusli,
Balai Pustaka, Jakarta, 1988
Dari kutipan di atas diketahui dilema kawin paksa yang harus dilakukan oleh Sitti Nurbaya.i. Pertentangan paham antara kaum bau tanah dengan kaum muda. Kaum bau tanah mempertahankan watak lama, sedangkan kaum muda menghendaki kemajuan berdasarkan paham kehidupan modern.
Contoh:
. . . .
”Ibu orang kampung dan perasaan ibu kampung semua,”
demikian beliau berkata, kalau ibunya membuatkan permadani di beranda belakang, buat menanti tamu yang sesama tuanya. ”Di rumah gadang, di Koto Anau, tentu boleh duduk menabur lantai
sepenuh rumah, tapi di sini kita dalam kota, tamuku orang Belanda saja.”
”Penat pinggangku duduk di bangku dan berasa pirai kakiku duduk berjuntai, Hanafi,” sahut ibunya. ”Kesenangan ibu hanyalah duduk di bawah, alasannya sejak ingatku duduk di bawah saja.”
”Itu salahnya, ibu, bangsa kita dari kampung; tidak suka menurutkan putaran jaman. Lebih suka duduk rungkuh dan duduk mengukul saja sepanjang hari. Tidak ubah dengan kerbau bangsa kita, Bu! Dan segala sirih menyirih itu . . . brrrr!”
. . . .
Dikutip dari: Salah Asuhan, Abdoel Moeis, Balai Pustaka, Jakarta, 1987
Dari kutipan di atas sanggup diketahui bahwa antara tokoh Hanafi dan ibunya terjadi kontradiksi paham mengenai letak perabotan yang ada di rumahnya.j. Latar kisah pada umumnya latar daerah, pedesaan, dan kehidupan daerah. Misalnya, novel Sitti Nurbaya mempunyai latar tempat di kawasan Padang.
k. Cerita bermain pada zaman sekarang, bukan di tempat dan zaman antah-berantah.
l. Cita-cita kebangsaan belum dipermasalahkan, dilema masih bersifat kedaerahan.
Contoh:
. . . .
”Uang belasting? Uang apa pula itu?” tanya Datuk Malelo dengan senyum merengut. ”Ada-ada saja kompeni itu, untuk mencari uang. Dan siapakah yang akan susah lantaran hukum itu?”
. . . .
Dikutip dari: Sitti Nurbaya Kasih Tak Sampai, Marah Rusli,
Balai Pustaka, Jakarta, 1988
Dari kutipan di atas sanggup diketahui bahwa dilema yang terjadi masih bersifat kedaerahan saja. Masalah tersebut wacana uang belasting yang terjadi di Padang.
EmoticonEmoticon