Contoh Puisi Kontemporer, Ciri-Ciri Dan Pencetus Puisi Kontemporer

Contoh puisi kontemporer berikut ialah karya dari Noorca Marendra, mari kita simak:
Di
Betul
kau pasti
sedang menghitung
berapa nasib lagi tinggal
sebelum fajar terakhir kamu tutup
tanpa seorangpun tahu siapa kamu dan
di
Kau
Maka kini
lengkaplah sudah
perhitungan di luar akal
tentang sesuatu yang tak sanggup siapapun
menerangkan kata pada ketika itu kamu mungkin sedang
di
Betul
kan
?
74

       Puisi tersebut termasuk jenis puisi kontemporer. Yang paling menonjol dari puisi kontemporer ialah tingkat tipografinya. Puisi kontemporer tidak mementingkan tipografi yang konvensional menyerupai puisi usang atau puisi baru. Puisi kontemporer lebih mementingkan bentuk grafis atau fisik
untuk mengungkapkan perasaan penyairnya. Penyair menata kata-kata sedemikian rupa untuk menjadikan suara yang indah. Demi tujuan tersebut, penyair kadang kala membalikkan kata-kata yang mengaburkan makna. Hal itu terjadi juga pada puisi karya Noorca Marendra di atas. Sebetulnya kata-kata yang digunakannya kata-kata dalam percakapan sehari-hari. Akan tetapi, pemenggalan beberapa kata yang tidak sesuai hukum menciptakan kabur arti kata-kata tersebut. Akibatnya, makna puisi itu pun menjadi tidak jelas.


Adapun ciri-ciri puisi kontemporer sebagai berikut.
1. Bentuk fisiknya atau tipografinya tidak beraturan.
2. Kata-kata disusun secara acak sesuai dengan tipografi yang diinginkan penyair.
3. Sebagian penyair menganggap makna dalam puisi kontemporer tidak diutamakan. Yang diutamakan bentuk fisiknya.
4. Sebagian penyair masih tetap mengutamakan makna puisinya, tetapi disajikan dengan tipografi bebas.
      Walaupun tidak mengutamakan makna, puisi kontemporer masih diikat dengan tema. Seperti referensi di atas, Noorca menuliskan puisi dengan mengangkat tema duduk perkara sosial.

Pelopor puisi kontemporer
      Puisi kontemporer dipelopori oleh penyair Sutardji Calzoum Bachri. Menurut Sutardji, dalam puisi kontemporer yang dipentingkan bentuk fisik (bunyi). Beliau ingin mengembalikan puisi pada
mantra. Dalam puisi yang ditulisnya, ia menyajikan ulangan kata, frasa, dan suara yang menjadi kekuatan puisinya. Puisi-puisi Sutardji diterbitkan dalam bukunya yang berjudul O, Amuk, Kapak.

Contoh-contoh lain puisi kontemporer:
O
dukaku dukakau dukarisau dukakalian dukangiau
resahku resahkau resahrisau resahbalau resahkalian
raguku ragukau raguragu ragutahu ragukalian
mauku maukau mautahu mausampai maukalian maukenal maugapai
siasiaku siasiakau siasiasia siabalau siarisau siakalian siasiasia
waswasku waswaskau waswaskalian waswaswaswaswaswaswaswas
duhaiku duhaiku duhairindu duhaingilu duhaikalian duhaisangsai
oku okau okosong orindu okalian obolong orisau oKau O . . . . .
Puisi kontemporer karya: Sutardji Calzoum Bachri
Angin Membantai Pucuk-Pucuk Tebu
Bagi Rakyat Desa Negara Sakti
Di antara badan petani yang terbakar, saya melihat kenyataan, sebara
semangat, dan getar perlawanan
pada nasib yang dihinakan. Aku melihat kutukan dan eksekusi alam kemiskinan:
membekas hangus pada
keningnya yang terbakar. Aku melihat cinta dan harapan, saya melihat
korban penindasan: pada dadanya yang terbakar.
Angin membantai pucuk-pucuk tebu. Di sana perlawanan itu bermula:
beratus tahun yang lalu,
Petani-petani hina bergerak melawan kebekuan nasibnya, melawan beribu
pertanyaan yang tak kuasa
Dijawabnya. Lawan-lawan-lawan! Cangkul diayunkan, arit disambitkan, guru
dilayangkan, tapi tidak
ke tanah, melainkan ke sana: ke tubuh-kaki-tangan-kepala yang telah
berabad menjajah mereka:
merdeka?
Beratus tahun sesudahnya, pertanyaan itu tetap sama, anak-cucu-cicit
mereka mendapatkan warisan yang
sama: pemiskinan, pembodohan, dan perlawanan. Siklus kekerasan yang
tak habis-habisnya. Di situ: di
antara miang batang-batang tebu, di antara berangasan mesin pabrik-pabrik gula,
penjajahan berulang kembali.
Lalu dengan badan kurus dan bibir bergetar, dengan melipat rasa takut,
petani-petani miskin
itu berteriak dan bergerak maju: lawan-lawan-lawan! Dan – tetap saja – pelurupeluru
panas itu yang
menjawab pertanyaan mereka: merdeka?
Di antara badan petani yang terbakar, pagi itu, saya melihat sisa spanduk,
cangkul, arit, dan garu dengan bacin darah, ya, saya melihat kenyataan:
selongsong peluru, poster-poster dengan goresan pena arang, dan sisa teriakan
yang terus terngiang: ”Kembalikan tanah nenek moyang kami!”
Puisi Kontemporer Karya: Ahmad Yulden Erwin

Doktorandus Tikus I
selusin toga
                    me
                         nga
                                nga
seratus tikus berkampus
                                       di atasnya
                dosen dijerat
profesor diracun
                kucing
                           kawin
                                     dan bunting
dengan predikat
                     sangat memuaskan
Puisi Kontemporer Karya: F. Rahardi 

Itulah tadi pembahasan mengenai Contoh, Ciri-Ciri dan Pelopor Puisi Kontemporer, agar bermanfaat :)


EmoticonEmoticon