Showing posts with label Seni Teater. Show all posts
Showing posts with label Seni Teater. Show all posts

Tari Remo Jawa Timur Dan Tari Gandrung Banyuwangi

1.Tari Remo
       Tari Remo yaitu tari yang berasal dari Jawa Timur. Tari Remo menggambarkan aksara dinamis masyarakat Surabaya. Karakter yang ditampilkan yaitu keberanian seorang pangeran. Musik yang dipakai untuk mengiringi tari Remo yaitu musik gamelan dalam gending. Gamelan tersebut terdiri atas bonang, saron, gambang, gender, slenthem, sitter, seruling, kethuk, kenong, kempul, dan gong. Gendingnya yaitu Jula-Juli Suroboyo dan Tropongan. Kadang-kadang, dilanjutkan dengan Walang Kekek, Gedog Rancak, dan Krucilan.

        Tari Remo terdiri atas dua gaya, yaitu perempuan dan laki-laki yang sanggup ditampilkan secara bahu-membahu dalam suatu grup. Tari Remo juga sanggup dibawakan dalam bentuk tari tunggal.
Pada awalnya, tari Remo ditampilkan sebagai tari pembuka dari seni ludruk atau wayang kulit Jawa Timur. Namun ketika ini, tari Remo juga ditampilkan pada aneka macam program ekspo dan ketika menyambut tamu. Penari tari Remo mengunakan tiga jenis kostum, yaitu Sawunggaling (gaya Surabaya), bab atas berwarna hitam yang menghadirkan pakaian kala ke- 18, dan celana bludru hitam dengan hiasan emas dan batik. Penari Remo juga dilengkapi dengan dua selendang (sampur).
2.Tari Gandrung
       Tari Gandrung merupakan tarian yang berasal dari kawasan Banyuwangi. Tari ini diperankan oleh penari perempuan yang juga dipanggil Gandrung bersama dengan dua hingga empat laki-laki. Tari Gandrung sangat populer dan digelar hampir di setiap perayaan, ibarat program khitanan dan pernikahan. Panggungnya sanggup berbentuk arena, halaman atau panggung kecil. (Seni Tari Atang dan Rama)

        Tata busana penari Gandrung menerima efek dari Bali. Busana yang dikenakan terbuat dari beludru berwarna hitam yang dihiasi oleh ornamen kuning emas dan manik-manik yang mengkilat.
Selendang dikenakan di bahu. Kepala dihiasi oleh mahkota yang disebut omprok. Penari Gandrung memakai kain batik dengan corak yang bermacammacam. Perlengkapan yang dipakai yaitu kipas.
Dalam pertunjukan tari Gandrung terdapat tiga bab penting, yaitu sebagai berikut:
a. Jejer, yaitu bab di mana penari Gandrung menampilkan rangkaian gerak sesuai dengan lagu yang dinyanyikan berupa padha nonton.
b. Maju Gandrung, yaitu bab di mana para tamu berkemas-kemas untuk menari bergantian bersama Gandrung. Tamu laki-laki yang menari diberi kesempatan menentukan lagu dengan memberi uang kepada pengendhang dan penari Gandrung.
c. Seblang Subuh, yaitu ketika semua tamu laki-laki telah menerima giliran menari dan fajar (subuh) sudah dekat. Gandrung menutup program dengan tarian dan lagu yang berjudul Seblang Subuh.

Tari Serimpi Dari Jawa Dan Tari Jathilan / Jaranan

1.Tari Serimpi
      Tari Serimpi merupakan tari klasik Jawa. Tari Serimpi menceritakan banyak sekali kisah, menyerupai dongeng peperangan dan pertengkaran. Gerakan tangan yang lambat dan gemulai merupakan ciri khas dari tari Serimpi. Gerak tari Serimpi menggambarkan pandangan hidup dan perilaku perempuan Jawa dengan cara
yang lebih jelas, menyerupai perkelahian, persembahan, penerimaan, tangis, peperangan, keberanian, kelincahan, dan ketangkasan.

       Tari Serimpi ditarikan oleh dua atau empat orang penari wanita. Ragam tari Serimpi sering digubah dengan banyak sekali gaya. Macam-macam tari Serimpi, menyerupai Serimpi Padelori, Andong-andong, Arjuno Mangsah, Dhempel Sangopati, Elo-elo, Dempel, Gambir Sawit, Muncar, Gandokusumo, dan Serimpi Lobong. Tari Serimpi Padelori merupakan bentuk tari Serimpi terbaru. Tari Serimpi Padelori digubah oleh para guru perkumpulan tari Yogyakarta Among Beksa.
Tari Serimpi gubahan gres tersebut ditarikan oleh delapan orang dan mengambil tema dongeng Menak.

 
2.Jathilan
       Tari Jathilan termasuk tarian rakyat yang paling renta di Jawa. Tari Jathilan merupakan tarian yang tersebar di tempat Jawa dan mempunyai banyak sekali nama. Di Jawa Tengah dan DIY, tari Jathilan dinamakan jaran kepang, incling, atau ebeg. Di Jawa Timur dinamakan jaran kepang. Dan di Jawa Barat, tari Jathilan dinamakan kuda lumping atau kuda kepang.

      Penari Jathilan menggunakan peralatan pedang yang dibentuk dari bambu dan menunggang kuda lumping. Busana yang dikenakan penari Jathilan ialah celana sepanjang lutut, kain batik, setagen, efek timang, iket, sampur, dan rompi. Kadang-kadang, penyajian tari Jathilan menggunakan sosok
barongan yang menari dengan gerak-gerak berlebihan. Pada zaman dahulu, penari Jathilan berjumlah dua orang. Akan tetapi, ketika ini tari Jathilan ditarikan oleh banyak orang dalam bentuk berpasangan. Tari Jathilan menggambarkan perihal peperangan dengan naik kuda dan bersenjatakan pedang. Selain penari berkuda, ada juga penari yang tidak berkuda tetapi menggunakan topeng. (Seni Tari Atang dan Rama)
       Para penari yang menggunakan topeng terdiri atas topeng hitam dan topeng putih. Penari yang menggunakan topeng putih berjulukan Bancak (Penthul), sedangkan penari yang menggunakan topeng hitam berjulukan Doyok (Bejer atau Temben). Kedua tokoh tersebut berfungsi sebagai pelawak, penari, dan penyanyi untuk menghibur prajurit berkuda yang sedang beristirahat sehabis perang.
Saat ini, muncul tari Jathilan gaya gres di Desa Jiapan, Tempel, dan Sleman. Instrumen yang dipakai dalam tari Jathilan gaya gres tersebut ialah kendang, bedhe, gong, gender, dan saron. Tari Jathilan gaya gres tersebut tidak menggunakan angklung.

Tari Bedhaya Ketawang (Unsur Tari Bedhaya)

       Gerakan tari Bedhaya sangat halus dan bernilai tinggi (adiluhung) sehingga sanggup membuat suasana tenang, teduh, dan khidmat. Gerak-gerak tari Bedhaya menggambarkan kepribadian putri-putri raja di keraton, serta perilaku dan sifat-sifat ideal perempuan Jawa yang sopan santun. Busana tari Bedhaya Ketawang memakai Dodot Ageng dengan motif Banguntulak alas-alasan
yang mengakibatkan penarinya terasa anggun.

        Pertunjukan tari Bedhaya Ketawang sudah mengalami pergeseran nilai. Pada zaman dahulu, tari Bedhaya Ketawang dipertunjukkan pada ketika penobatan raja. Sedangkan ketika ini, pertunjukan Bedhaya Ketawang telah mengalami perubahan pada banyak sekali aspek. Nilainya telah bergeser menjadi sebuah warisan budaya yang nilai seninya harus dilestarikan. Akan tetapi, bentuk tatanan pertunjukannya masih mengacu pada tradisi ritual atau tata cara masa lampau.
Tari Bedhaya Ketawang mengandung banyak sekali unsur, makna, dan sifat yang dekat hubungannya dengan susila upacara, sakral, religius, dan tarian percintaan atau tari perkawinan.
a. Adat upacara
       Tari Bedhaya Ketawang ditampilkan pada program khusus atau resmi. Tari Bedhaya Ketawang hanya dipergelarkan pada program yang berafiliasi dengan peringatan ulang tahun tahta kerajaan. Jadi, tarian tersebut hanya dipergelarkan sekali dalam setahun. Selama tarian berlangsung, dihentikan untuk menyajikan masakan dan minuman sebab akan mengurangi kekhidmatan acara.
b. Sakral
       Tari Bedhaya Ketawang dianggap sebagai tarian yang diciptakan oleh Ratu Kidul. Bahkan, dipercaya bahwa setiap kali tari Bedhaya Ketawang ditarikan, Ratu Kidul selalu hadir dan ikut menari. Biasanya, penari tari Bedhaya Ketawang sanggup mencicipi kehadiran Ratu Kidul pada ketika latihan. Akan tetapi, tidak setiap orang sanggup melihat Ratu Kidul. Hanya orang yang mempunyai kepekaan indrawi yang sanggup mencicipi kehadiran Ratu Kidul tersebut.
c. Religius
       Segi religius dalam tari Bedhaya Ketawang terlihat dari kata-kata yang dinyanyikan oleh bunyi sinden atau penyanyinya. Kata-kata tersebut antara lain ada yang berbunyi: tanu astra kadya agni urube, kantar-kantar? yen mati ngendi surupe, kyai?? (??kalau mati ke mana tujuannya, kyai?).
d. Tarian percintaan atau tari perkawinan
       Tari Bedhaya Ketawang melambangkan rasa cinta Ratu Kidul kepada Sultan Agung. Perasaan
cinta tersebut terlihat dalam gerak-gerik tangan dan seluruh serpihan tubuh, cara memegang
selendang, dan sebagainya. Semua penari tari Bedhaya Ketawang dirias menyerupai pengantin
(mempelai).

 Gerakan tari Bedhaya sangat halus dan bernilai tinggi  Tari Bedhaya Ketawang (Unsur Tari Bedhaya) (Tata rias dan busana penari Bedhaya Anglir Mendung Mangkunegara)
        Penari tari Bedhaya berjumlah sembilan orang. Para penari putri tersebut harus dalam keadaan higienis secara spiritual (tidak dalam keadaan haid). Selain itu, beberapa hari sebelumnya para penari diwajibkan untuk berpuasa. Komposisi penari Bedhaya Ketawang terdiri atas Endhel, Pembatak, Apit Najeng, Apit Wingking, Gulu, Enhel Weton, Apit Meneng, Dadha, dan Buncit. Pada zaman dahulu, pergelaran tari Bedhaya Ketawang berlangsung selama 2 1/2 jam. Akan tetapi, semenjak zaman Paku Buwana X diadakan pengurangan, sampai menjadi 1 1/2 jam.