Sejarah Perkembangan Prosa (Teks Manifes Kebudayaan)

Prosa pada masa usang cukup banyak dan beragam. Ada yang disebut dongeng (mite, sage, dan legenda), dongeng hewan (fabel), dongeng jenaka, dongeng pelipur lara, dan hikayat. Fabel umumnya mengambil kancil sebagai tokoh utama. Cerita jenaka, dongeng lucu, ibarat Cerita Pak Belalang, Cerita Pak Pandir, Cerita Pak Kadok, yang mengundang gelak tawa menjadi pelipur lara. Ada pula dongeng usang yang berbentuk hikayat, ibarat Hikayat Seri Rama, Hikayat Panji Semirang, dan Hikayat Amir Hamzah. Kecuali itu, karya sastra berisi sejarah ibarat Sejarah Melayu (Tun Seri Lanang), kisah ibarat Kisah Pelayaran Abdullah dari Singapura ke Kelantan karya Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi.
       Perkembangan prosa semenjak awal kala ke-20, muncul prosa dengan nama roman (kini: novel) dan cerpen. Novel pada waktu itu sudah jauh lebih maju daripada hikayat. Demikian juga cerpen. Isinya tidak lagi melukiskan alam khayali di negara antah berantah, tetapi kehidupan yang lebih realistis. Pada awalnya, warna kedaerahan masih kuat. Tema prosa yang diusung masih duduk masalah kontradiksi kaum tua-muda (adat) terutama yang berkaitan dengan kawin. Azab dan Sengsara (1918) karangan Merari Siregar, dan Sitti Nurbaya (1922) karangan Marah Rusli terbitan Balai Poestaka ialah contohnya. Sifatnya didaktis (mendidik).
       Pelan-pelan warna dan sifat dari prosa itu ditinggalkan. Lebih-lebih sesudah majalah Poedjangga Baroe (edisi pertama, 1933 terbit). Melalui majalah ini cendekiawan, sastrawan, budayawan melontarkan pikiran dan gagasannya mengenai bahasa, sastra, budaya, pendidikan, insan Indonesia, dan lain-lain. Layar Terkembang (1936) karangan Sutan Takdir Alisjahbana, melontarkan idealismenya mengenai Indonesia modern. Belenggu (1940) karangan Armijn Pane tidak lagi didaktis, tetapi psikologis. Di dalam Lembah Kehidupan (1938) kumpulan cerpen Hamka menyajikan duduk masalah sehari-hari secara realistis.
      Karena pergaulan bangsa Indonesia meluas ke seluruh dunia, pada periode 1940-an tema bukan lagi idealisme, melainkan humanisme universal. Atheis (1948) karangan Achdiat Kartamihardja, Tak Ada Esok (1950) dan Jalan Tak Ada Ujung (1952) keduanya karangan Mochtar Lubis ialah contohnya. Cerpen tidak hanya relaistis tetapi juga ada yang bersifat simbolik, bahkan sinis.
       Tahun 1960-an sastrawan terkotak-kotak dalam bingkai politik. Walaupun begitu, sebagian enggan masuk kotak politik. Kelompok ini ingin menempatkan seni dan sastra pada tempatnya, menegakkan kebenaran dan keadilan, serta menegakkan Undang-Undang Dasar 45 yang doyong. Mereka melaksanakan perlawanan terhadap tirani. Pernyataan mereka dikenal dengan sebutan Manifes Kebudayaan. Oleh H.B Jassin kelompok merekalah yang disebut Angkatan 66.

Manifes Kebudayaan
– Kami para seniman dan cendekiawan Indonesia dengan ini mengumumkan sebuah Manifes Kebudayaan, yang menyatakan pendirian, harapan dan politik kebudayaan nasional kami.
– Bagi kami kebudayaan ialah perjoangan untuk menyempurnakan kondisi hidup manusia. Kami tidak mengutamakan salah satu sektor kebudayaan di atas sektor kebudayaan yang lain. Setiap sektor berjuang bahu-membahu untuk kebudayaan itu sesuai dengan kodratnya.
– Dalam melaksanakan kebudayaan nasional kami berusaha mencipta dengan kesungguhan yang sejujur-jujurnya sebagai perjoangan untuk mempertahankan dan menyebarkan martabat diri kami sebagai bangsa Indonesia di tengah-tengah masyarakat bangsa-bangsa.
– PANCASILA ialah falsafah kebudayan kami.
Jakarta, 17 Agustus 1963
       Prosa periode-1970 kemari berkembang bahasan yang abnormal dan filosofis. Khotbah di Atas Bukit (Kuntowijoyo), Harimau! Harimau! (Mochtar Lubis), dan Burung-Burung Manyar (Y.B. Mangunwijaya) ialah contohnya. Pada periode ini bermunculan novel terkenal karya pengarang wanita. Termasuk di dalamnya Saman karya Ayu Utami. Demikianlah tadi perkembangan dari prosa, biar bermanfaat :)


EmoticonEmoticon