Prinsip-Prinsip Ekonomi Dan Perdagangan Yang Dibangun Nabi Muhammad Saw (Rasulullah Saw)

Kehidupan ekonomi Rasulullah dan para sahabat di Madinah sebagai warga pendatang agak terganggu. Hal ini masuk akal lantaran pada dikala berhijrah, mereka meninggalkan seluruh hartanya di Mekah. Oleh lantaran itu, ketika salah seorang muslimin, khusus nya dari kalangan Muhajirin ada yang meninggal dunia, Rasulullah eksklusif menanyakan perihal utang almarhum. Jika ternyata ada utang dan belum terbayarkan, ia bersama para sahabat berusaha melunasi utang tersebut.
      Pada tahun kedua Rasulullah mulai menetapkan kewajiban mengeluarkan zakat untuk setiap muslim sehingga ia juga menetapkan secara khusus para petugas pemungutnya. Selanjutnya, forum keuangan juga mulai dibentuk. Lembaga ini dikenal dengan ”Baitul Mal az-Zakat”. Selain mengelola harta zakat untuk dimanfaatkan serta dibagikan kepada yang berhak, forum ini juga mengelola kekayaan dari harta rampasan perang, contohnya hasil rampasan sesudah berlangsungnya Fathu Makkah.
(pic: @CintaRasulAllah)
     Berkaitan dengan pembagian kekayaan, khususnya perihal harta rampasan perang telah dijelaskan dalam beberapa hadis. Dalam salah satu hadis riwayat Bukhari diceritakan bahwa ketika kaum Muhajirin tiba ke Madinah, mereka pada awalnya tidak membawa apa-apa. Kaum Ansar, sebagai pemilik tanah lalu membagi hasil pertanian mereka demi menjamin kelangsungan hidup kaum Muhajirin. Tidak usang lalu sesudah terjadinya Perang Khaibar, kaum Muhajirin sanggup mengembalikan pinjaman kaum Ansar tersebut. Kondisi ini merupakan dampak eksklusif dari pengelolaan zakat yang tepat. Misalnya dalam hal penyaluran harta kekayaan kepada yang berhak. Selain itu, juga disebabkan oleh perjuangan Rasulullah yang sangat baik dalam menata kehidupan ekonomi, khususnya perdagangan.
      Para sahabat Muhajirin yang mempunyai jiwa wirausaha selagi di Mekah, juga melanjutkan acara bisnisnya di Madinah. Dengan pengalamannya, mereka eksklusif memperlihatkan kepiawaiannya dalam memperlihatkan dagangannya, meskipun tidak di negerinya sendiri. Dalam berbisnis, mereka juga mempunyai kepribadian yang baik, tidak suka menghalalkan segala cara, dan tetap berpegang pada nilai-nilai Islam. Mereka meninggalkan praktik bisnis kurang terpuji yang telah berlangsung umum di
tanah Arab. Misalnya, dengan menipu, mengurangi dosis dan timbangan, melaksanakan monopoli, dan meminjamkan uang dengan sistem riba.

     Sebelum Islam datang, praktik kolaborasi masyarakat dalam bidang ekonomi masyarakat telah
berjalan, menyerupai perjuangan jual beli, sewa-menyewa, pinjam-meminjam, dan lainnya. Akan tetapi, usaha
mereka sering kurang adil lantaran hanya menguntungkan salah satu pihak. Oleh lantaran itu,
Rasulullah menetapkan aturan-aturan tertentu yang menjamin keadilan. Aturan-aturan tersebut antara lain sebagai berikut.
1. Larangan menjual sesuatu yang belum terperinci keadaan barangnya atau lantaran masih dalam penawaran orang lain.
2. Perintah untuk menjual barang di pasar atau daerah perdagangan.
3. Perintah bahwa jual beli hanya berlaku kalau terdapat kesepakatan yang terperinci antara pihak penjual dengan pembeli.
4. Larangan menaikkan harga barang yang sangat tinggi dan diputuskan secara sepihak.
5. Menghukumi haram pada praktik penimbunan barang.
6. Larangan mengambil laba yang berlipat.
      Berkat penataan ekonomi yang dibangun Rasulullah banyak di antara para wirausahawan muslim yang meraih kesuksesan. Ada juga yang berhasil menyelenggarakan acara ekspor dan
impor dari banyak sekali komoditas, baik untuk Kota Madinah maupun untuk luar kota. Ada yang sukses di bidang pertanian, perdagangan, jasa, sampai perjuangan properti.
Di antara para sahabat yang sukses dalam bidang ekonomi dan perdagangan sebagai berikut.
a. Abu Bakar as Siddiq r.a.
b. Umar bin Khat.t.ab r.a.
c. Usman bin Affan r.a.
d. Zubair bin Awwam r.a.
e. Amr bin ‘As r.a.
f. Abdurrahman bin Auf r.a.
      Selain banyak sahabat yang mempunyai kekayaan berlimpah, kehidupan muslimin pada umumnya semakin berkecukupan. Kaum muslimin pada zaman Rasulullah tetap hidup sederhana. Mereka tidak suka bermewah-mewahan. Mereka memakai harta bendanya sebagai sarana ibadah kepada Allah, contohnya untuk berzakat kepada yang berhak dan mendukung dakwah agama Islam.


EmoticonEmoticon