Showing posts with label Seni Teater. Show all posts
Showing posts with label Seni Teater. Show all posts

Teater Tradisi Dari Bali Dan Betawi

Teater tradisi merupakan hasil kreativitas dan kebersamaan suatu kelompok sosial yang berakar dari budaya setempat. Misalnya: dongeng, pantun, tari, musik, dan syair. Teater tradisi tanpa memakai naskah dan bersifat improvisasi. Sifatnya supel, artinya dipentaskan di sembarang
tampat. Jenis ini masih hidup dan berkembang di daarah-daerah di seluruh Indonesia misalnya ialah Bali dan Betawi. Sifat teater tradisional, yaitu improvisasinya sederhana, spontan, dan menyatu dengan kehidupan rakyat. Berikut ialah salah satu pola teater tradisi dari bali dan betawi.

1.Teater Tradisi dari Bali
Calonarang
       Teater bali ini muncul pada tahun 1825 di Klungkung dalam lingkup istana, namun diyakini telah hidup sebelumnya. Fungsi dari teater bali yang ini ialah mengiringi upacara keagamaan dan tolak bala. Sumber ceritanya ialah kitab Calonarang yang terdiri atas empat cerita, yakti Katundung Ratna Mangali (pengusiran Ratna Mangali), Perkawinan Mpu Bahula, Ngeseng Waringin (pembakaran pohon beringin), dan Kautus Rarung (utusan Rarung ke istana dan perkawinan Ratna Mangali-Raja Airlangga). Tata tari, iringan gamelan, dan busana dalam teater bali ini banyak mengambil dari tari gambuh. Dialog atau antawacana para pemain diucapkan dalam bahasa Kawi dan Bali. Tokoh
tetapnya ada sepuluh, ditambah tokoh hantu-hantu kecil bertopeng yang ditujukan sebagai lelucon.

2. Teater Tradisi dari Betawi
a. Lenong merupakan seni teater tradisional Betawi yang hingga sekarang masih ada. Lenong Betawi biasa mengambil dongeng kisah seribu satu malam, jagoan-jagoan betawi (Si Pitung; Si Jampang; dan lain-lain), dongeng rakyat, dan sebagainya. Musik pengiringnya memakai gambang kromong yaitu alat musik khas Betawi.
b. Topeng Betawi dalam bahasa Betawi berarti pertunjukan. Teater rakyat ini dimainkan di tengah kerumunan berbaur dengan penonton. Pertunjukan teater betawi yang ini diawali dengan bunyi-bunyian orkes untuk menarik penonton. Lalu dibuka dengan topeng kedok yang dimainkan oleh satu atau dua orang wanita. Pertunjukan teater betawi dilanjutkan dengan kembang topeng betawi dan bodor (lawak) yang dimainkan oleh primadona lawak. Inti pertunjukan gres dimainkan pada tengah malam, berupa dongeng kepahlawanan tokoh betawi dan lain-lain.

Teater Tradisi Dari Jawa Tengah, Yogyakarta, Dan Jawa Barat

Teater Tradisi dari Jawa Tengah dan Yogyakarta
      Teater dari kawasan jogja dan Jateng mempunyai keunikan yang menarik, dan mempunyai daya pkat tersendiri, jad tak hera kalau hingga kini ini teater ini masih sering dipertunjukkan dan menjadi daya tarik untuk sektor pariwisata, teladan teater dari yogyakarta dan Jawa tengah yang palig terkenal yaitu ketoprak dan wayang orang. 
a. Ketoprak
       Teater yang amat terkenal di Jawa Tengah dan Yogyakarta ini cukup bau tanah usianya, yaitu muncul semenjak tahun 1887. Mula-mula hanya merupakan permainan lesung orang-orang desa di bawah bulan purnama, kemudian ditambah tembang dan nyanyian. Jadi, bukan tontonan. Baru pada tahun 1909, sesudah dimodifikasi dengan pemanis alat-alat musik, menyerupai kendang, terbang, seruling, dan kecrek, pertunjukan ini dipertontonkan. Pada tahun 1920-an berkembanglah kelompok-kelompok ketoprak yang mempertontonkan ketoprak dalam bentuk menyerupai yang kita kenal sekarang. Pertunjukannya pun tidak lagi diselenggarakan di halaman rumah atau pendapa, melainkan beralih ke panggung prosenium. Cerita yang dipentaskan bermacam-macam dan semenjak tahun 1930-an sudah mengambil sumber-sumber dongeng yang lebih modern.
 b. Wayang Wong
       Teater Wayang Wong (Wayang Orang) semula muncul di Istana Yogyakarta pada pertengahan kala 18, namun akibatnya keluar istana dan menjadi kegemaran rakyat. Pertunjukannya diselenggarakan di pasar-pasar malam, taman hiburan, dan di pentas prosenium. Penataan panggung realistik dengan set ruangan keraton, gerbang keraton, jalan desa, dan lain-lain. Cerita yang dipentaskan umumnya Mahabharata dan Ramayana yang dipelajari dari guru-guru tari keraton. Pemainnya harus cendekia menari dan menembang serta memahami tarian untuk karakter tertentu, selain juga bisa melaksanakan brontowecono (berdialog) dalam karakter yang dibawakannya.

 Teater Tradisi dari Jawa Barat
       Sukabumi yaitu salah satu kebupaten yang ada di Jawa Barat. Di sana ada teater khas yang berjulukan “Gekbreng”. Kesenian yang berupa drama tari ini bersifat humor yang menceritakan ihwal kehidupan masyarakat sehari-hari. Nama Gekbreng itu sendiri merupakan adonan dari dua kata, yaitu “gek” dan “breng” yang artinya “duduk seketika”. Dengan demikian, Gekbreng sanggup diartikan ketika seseorang duduk, dikala itu pula riuh rendah suara gamelan memulai agresi pertunjukan. Kesenian Gekbreng diciptakan oleh Abah Ba’i pada tahun 1918, sesudah tamat belajar pada seorang seniman longser yang berjulukan Abah Emod alias Abah Soang di Kampung Situ Gentang Ranji, Sukabumi, Jawa Barat. Konon, kesenian ini timbul dari reaksi masyarakat atas ketidakadilan yang dilakukan oleh para penguasa waktu itu. Dengan kreatifitasnya, Abah Ba’i menangkap keluhan-keluhan masyarakat terhadap penguasa itu dan meramunya menjadi suatu bentuk drama tari yang bersifat humor yang kemudian disebut Gekbreng. Jadi, dahulu Gekbreng yaitu suatu kesenian yang bertujuan untuk mengingatkan para penguasa melalui sindiran-sindiran halus yang disampaikan dengan gaya humor biar jangan terlalu otoriter dalam memakai kekuasaannya.
     Peralatan musik yang dipakai untuk mengiring pertunjukan Gekbreng Jawa Barat yaitu seperangkat gamelan berlaras selendro yang terdiri atas: (1) kendang; (2) terompet; (3) ketuk tilu; (4) rebab; (5) rincik; dan (6) gong. Pertunjukan Gekbreng jawa barat biasanya diadakan di tempat terbuka atau tempat yang agak luas, menyerupai pendapa atau halaman rumah. Para penontonnya duduk berkeliling membentuk abjad U atau tapal kuda. Demikian pula dekorasi panggungnya, terkesan cukup seadanya dan bahkan bersifat ajaib imajiner. Pertunjukan teater rakyat ini sanggup dilakukan pada siang maupun malam hari. Pada malam hari, sebagai pencahayaan dipergunakan obor tradisional bersumbu tiga yang disebut oncor.

Contoh Teater Melayu (Teater Dumuluk, Mendu, Dan Mamanda)

Teater melayu sangat beraneka ragam jenisnya, diberbagai tempat teater melayu menjadi ikon yang menjadi ciri khas kawasan masing-masing. Berikut ini yaitu tiga teladan teater melayu yang ada diindonesia.
a. Teater Dulmuluk dari Sumatera Selatan
       Salah satu teater melayu yaitu teater dumuluk, banyak sekali versi mengenai asal muasal Dulmuluk. Ada beberapa versi ihwal sejarah teater tradisional yang berkembang di Sumatera Selatan itu. Satu versi yang sering disebut-sebut, teater ini bermula dari syair Raja Ali Haji, sastrawan yang pernah bermukim di Riau dan terkenal dengan Gurindam 12. Salah satu syair Raja Ali Haji diterbitkan dalam buku Kejayaan Kerajaan Melayu. Karya yang mengisahkan Raja Abdul Muluk itu terkenal dan menyebar di banyak sekali kawasan Melayu, termasuk Palembang. Versi lain menyebutkan, seorang pedagang keturunan Arab, Wan Bakar, membacakan syair ihwal Abdul Muluk di sekitar rumahnya di Tangga Takat, 16 Ulu. Acara tersebut menarik minat dan perhatian masyarakat sehingga mereka tiba berkerumun. Agar lebih menarik, pembacaan syair kemudian disertai dengan peragaan oleh beberapa orang, ditambah iringan musik.
       Pertunjukan teater melayu itu mulai dikenal sebagai Dulmuluk pada awal kala ke-20. Pada masa penjajahan Jepang semenjak tahun 1942, seni rakyat itu berubah menjadi teater tradisi yang dipentaskan di atas panggung. Kelompok teater kemudian bermunculan dan Dulmuluk tumbuh dan digemari masyarakat. Pertunjukan Dulmuluk menjadi menarik alasannya yaitu menampilkan unsur-unsur teater yang lengkap. Ada cerita, syair, lagulagu Melayu, dan lawakan. Lawakan pada pertunjukan Dulmuluk sering mengangkat dan menertawakan ironi kehidupan sehari-hari masyarakat ketika itu. Pertunjukan Dulmuluk selalu dibawakan secara impulsif dan menghibur, bahkan penonton juga sanggup merespons percakapan di atas panggung. Bahasa yang dipakai yaitu bahasa Melayu dan bahasa Palembang.

b. Teater Mendu dari Kepulauan Riau
       Contoh teater melayu yang kedua yaitu teater mendu, Mendu yaitu sebuah kesenian yang menyebar ke banyak sekali tempat di kawasan yang disebut sebagai Pulau Tujuh, yakni: Bunguran Timur (Ranai dan Sepempang), Siantan (Terempa dan Langi), dan Midai di Natuna Provinsi Kepulauan Riau. Mendu yaitu seni pertunjukan yang unik. Keunikannya yaitu dongeng yang dimainkan tanpa naskah, sehingga para pemain harus hafal benar alur ceritanya di luar kepala. Dialog-dialognya disampaikan dengan tarian dan nyanyian yang diiringi dengan musik yang khas, adonan dari suara gong, gendang, beduk, biola, dan kaleng. Sementara itu, lagu-lagu yang dinyanyikan adalah: Air Mawar, Jalan Kunon, Ilang Wayat, Perang, Beremas, Ayuhai, Tale Satu, Pucok Labu, Sengkawang, Nasib, Numu Satu Serawak, Setanggi, Burung Putih, Wakang Pecah, Mas Merah, Indar Tarik Lembu, Numu Satu, Lemak Lamun, Lakau, dan Catuk. Sedangkan tarian-tariannya adalah: Air Mawar, Lemak Lamun, Lakau, Ladun, Jalan Runon, dan Baremas.
       Cerita yang dimainkan yaitu Hikayat Dewa Mendu yang diangkat dari dongeng rakyat masyarakat Bunguran-Natuna. Cerita itu terbagi dalam tujuh episode. Ketujuh episode tersebut sebagai berikut.
1. Episode pertama, menceritakan kehidupan di kayangan dan turunnya Dewa Mendu dan Angkara Dewa ke dunia yang fana.
2. Episode kedua, menceritakan berpisahnya Dewa Mendu dengan Siti Mahdewi akhir perbuatan jin jahat yang diutus oleh Maharaja Laksemalik.
3. Episode ketiga, menceritakan perjalanan Siti Mahdewi, kelahiran anaknya yang kemudian diberi nama Kilan Cahaya, dan perjumpaannya dengan Nenek Kabayan.
4. Episode keempat, mengisahkan ihwal perjalanan Dewa Mendu yang kemudian hingga di sebuah kerajaan yang rajanya berjulukan Bahailani.
5. Episode kelima, menceritakan perjalanan Dewa Mendu ke sebuah kerajaan yang rajanya berjulukan Majusi.
6. Episode keenam, menceritakan perjalanan Dewa Mendu ke sebuah kerajaan yang rajanya berjulukan Firmansyah.
7. Episode ketujuh, mengisahkan bagaimana Dewa Mendu bertemu dengan Kilan Cahaya yang diawali dengan perkelahian antarkeduanya.
       Cerita Dewa Mendu ini sanggup dimainkan dalam beberapa versi, namun inti ceritanya tetap sama.
Tokoh-tokoh dalam seni pertunjukan Mendu, di samping Dewa Mendu adalah: Angkara Dewa, Siti Mahdewi, Maharaja Laksemalik, Kilan Cahaya, Nenek Kebayan, Raja Bahailani, Raja Majusi, Raja
Firmansyah, Raja Beruk, dan tokoh-tokoh pendukung lainnya yang jenaka menyerupai Tuk Mugok dan Selamat Salabe. Kedua tokoh ini menyerupai tokoh Punakawan dalam pewayangan yaitu sebagai humoris dalam dongeng Mendu. Oleh alasannya yaitu itu, mereka menjadi bab yang penting dan sangat disenangi oleh penonton.
       Bahasa yang dipergunakan dalam berdialog yaitu bahasa Mendu dan bahasa Melayu sehari-hari masyarakat pendukungnya. Bahasa Mendu dipakai oleh para tokoh utama, sedangkan bahasa Melayu sehari-hari dipakai oleh tokoh-tokoh lainnya, seperti: jin, dayang, dan tugas pembantu lainnya.

c. Teater Mamanda dari Kalimantan
       Seni teater melayu tradisional masyarakat Kutai disebut Mamanda. Istilah Mamanda diduga berasal dari istilah pamanda atau paman. Kata tersebut dalam suatu lakon merupakan panggilan raja yang ditujukan kepada menteri, wajir atau mangkubuminya dengan sebutan pamanda menteri,
pamanda wajir, dan pamanda mangkubumi. Karena seringnya kata pamanda diucapkan dalam setiap pertunjukan, maka istilah tersebut menjadi julukan bagi seni pertunjukan itu sendiri. Seni teater tradisional Mamanda merupakan salah satu seni pertunjukan teater melayu yang terkenal di Kutai di masa lalu. Kesenian ini selalu dipertunjukkan pada setiap perayaan hari nasional, pada program perkawinan, khitanan, dan sebagainya.
      Mamanda merupakan salah satu jenis hiburan yang disenangi masyarakat. Ada dua pakem dongeng yang dipakai dalam Mamanda yaitu jalan dongeng yang disajikan dalam Mamanda yaitu ihwal sebuah kerajaan, maka pertunjukan Mamanda tersebut menyerupai dengan Kethoprak. Namun, jikalau yang dipertunjukan yaitu dongeng rakyat biasa, maka pertunjukan Mamanda tersebut menyerupai dengan Ludruk. Dalam pertunjukannya, Mamanda selalu memakai dua jenis alat alat musik yakni gendang dan biola. Kesenian Mamanda sudah jarang dipentaskan secara terbuka. Namun pada Festival Erau di kota Tenggarong, kesenian Mamanda sering dipertunjukkan secara terbuka untuk mengisi salah satu mata program hiburan rakyat.

Jenis Teater Nusantara (Teater Tradisional, Klasik, Dan Transisi)

Teater Nusantara meliputi seni pertunjukan teater tradisional dan teater modern di wilayah Nusantara dan mempunyai jenis yang bergam. Jenis teater Nusantara sangat bervariasi. Hal ini disebabkan unsur-unsur pembentuk teater berbeda-beda tergantung dari kondisi dan perilaku budaya masyarakat, tata cara dan adat, sumber teater, struktur geografis, orientasi kelompok teater, dan sebagainya. Keberanekaragaman jenis karya seni teater Nusantara merupakan kekayaan teater Indonesia yang sangat layak kita lestarikan. 

Berikut ini beberapa jenis teater Nusantara yang ada di bumi Indonesia.
1. Teater Tradisional
       Jenis teater nusantara yang pertama yakni teater tradisional yang merupakan teater yang berkembang di kalangan budaya etnik (suku bangsa) Indonesia. Teater tradisional dimulai sejak sebelum zaman Hindu. Pada ketika itu terdapat gejala unsur-unsur teater tradisional banyak dipakai untuk mendukung upacara ritual. Teater tradisional merupakan kepingan dari suatu upacara keagamaan ataupun upacara adat-istiadat dalam tata cara kehidupan masyarakat kita. Jenis teater tradisional biasanya dipertunjukkan secara improvisasi (tanpa naskah) dan sanggup dipentaskan di sembarang tempat. Proses munculnya teater tradisional di Indonesia sangat bervariasi antara satu kawasan dengan kawasan lainnya. Hal ini disebabkan lantaran unsur-unsur pembentuk teater tradisional itu berbeda-beda, tergantung kondisi dan perilaku budaya masyarakat, sumber, dan tata-cara tempat teater tradisional tersebut lahir. Berbagai jenis teater tradisional Indonesia antara lain: Makyong, Randai, Mamanda, Arja, Cepung, Wayang, Lenong, Drama Raja Longser, Tarling, Ketoprak, Srandul, Kentrung, Ludruk, Ketoprak, Dulmuluk, dan sebagainy

2. Teater Klasik
       Teater klasik merupakan jenis teater yang sifatnya sudah mapan. Segala sesuatunya sudah teratur; dengan dongeng dan pelaku yang terlatih, dipertunjukkan di gedung-gedung pertunjukan yang memadai, dan cenderung tidak menyatu lagi dari kehidupan rakyatnya. Ceritanya statis namun mempunyai daya tarik lantaran kepiawaian dalang atau pelaku teater dalam membawakan cerita. Teater klasik lahir dari sentra kerajaan sehingga bersifat feodalistik. Contoh jenis teater klasik yakni wayang orang, wayang kulit, dan wayang golek.
 
3. Teater Transisi
       Teater transisi merupakan jenis teater peralihan dari bentuk tradisional ke bentuk modern. Kelompok teater yang masih tergolong kelompok teater tradisional mulai memasukkan unsur-unsur teknik teater Barat ke dalam pertunjukannya, dinamakan teater bangsawan. Teater transisi ditandai dengan adanya dongeng yang sudah mulai ditulis, meskipun masih dalam wujud dongeng ringkas. Penyajian dongeng memakai panggung dan dekorasi yang telah diatur, serta mulai memperhitungkan teknik yang mendukung pertunjukan. Selain efek dari teater bangsawan, teater tradisional berkenalan juga dengan teater Barat yang dipentaskan oleh orang-orang Belanda di Indonesia sekitar tahun 1805.
     Rombongan pertama teater transisi contohnya Komedie Stamboel di Surabaya pada tahun 1891, yang pementasannya secara teknik telah banyak mengikuti budaya dan teater Barat (Eropa) dengan mempertunjukkan naskah. Pendiri kelompok ini yakni August Mahieu, seorang Indo-Perancis kelahiran Surabaya (1860-1906). Sedang penyedia modal untuk Komedi Stamboel ialah seorang Cina-peranakan berjulukan Yap Goan Tay dan Cassim, pembantunya. Setelah Komedie Stamboel muncul kelompok sandiwara seperti Sandiwara Dardanella (The Malay Opera Dardanella) yang didirikan Willy Klimanoff alias A. Pedro pada tanggal 21 Juni 1926. Kemudian lahirlah kelompok sandiwara lain, ibarat Opera Stambul, Komidi Bangsawan, Indra Bangsawan, Sandiwara Orion, Opera Abdoel Moeloek, Sandiwara Tjahaja Timoer, dan sebagainya.
     Pada masa teater transisi belum muncul istilah "teater" namun dikenal istilah "sandiwara". Karenanya rombongan teater pada masa itu memakai nama sandiwara, sedangkan dongeng yang disajikan
dinamakan drama. Sampai pada Zaman Jepang dan permulaan Zaman Kemerdekaan, istilah sandiwara masih sangat populer. Istilah teater bagi masyarakat Indonesia gres dikenal sesudah Zaman Kemerdekaan. Setelah kemunculan teater transisi, banyak pengetahuan untuk mengadopsi seni teater Barat dan memadukannya dengan teater tradisional. Seiring dengan perkembangan teater, pada tahun 1930-an
sebagai ungkapan ketertekanan kaum intelektual di masa itu karena penindasan pemerintahan Belanda, muncul sastra drama yang pertama kali memakai bahasa Indonesia dan disusun dengan model dialog berbentuk sajak yakni Bebasari (artinya kebebasan yang sebetulnya atau inti kebebasan) karya Rustam Efendi (1926). Naskah Bebasari merupakan sastra drama yang menjadi penggagas semangat kebangsaan ketika itu. Menjelang selesai pendudukan Jepang muncul rombongan sandiwara Penggemar Maya (1944) pimpinan Usmar Ismail dan D. Djajakusuma dengan derma Suryo Sumanto, Rosihan Anwar, dan Abu Hanifah beranggota cendekiawan muda, nasionalis, dan para profesional. Kelompok ini berprinsip menegakkan nasionalisme, humanisme, dan agama. Kelak, Penggemar Maya menjadi pemicu berdirinya Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI) di Jakarta yang kelak mencetak tokohtokoh terkemuka teater Indonesia.

Kelompok Teater Modern Nusantara (Teater Rendra, Populer, Kecil, Koma, Mandiri, Bengkel Muda Surabaya, Dll)

Kelompok Teater Modern Nusantara beraneka ragam seiring dengan perkembangan yang ada. Teater modern Indonesia merupakan pertemuan dari banyak sekali gagasan. Para pendukung teater modern belum sepenuhnya meninggalkan budaya asalnya yang bermuatan tradisional dan memadukannya dengan teater Barat. Hal inilah yang mengakibatkan teater modern Indonesia mempunyai banyak sekali bentuk dan jenis. Bentuk pertunjukan teater modern cenderung lebih teratur dan dipentaskan di atas panggung dengan instruksi seorang sutradara. Berikut ini beberapa jenis teater modern yang kehadirannya menunjukkan sumbangan besar bagi perkembangan teater Nusantara.
1. Bengkel Teater Rendra
      Kelompok teater modern nusantara yang pertama ialah Bengkel Teater Rendra, Bengkel Teater Rendra didirikan W.S. Rendra di Kampung Ketanggunan, Yogyakarta (1961) dan di Depok (1986). Pertunjukan-pertunjukan yang mereka tampilkan selalu mendapat sambutan hangat dan seolah menjadi barometer peta pertunjukan teater di tanah air. Rendra sebagai seorang sastrawan, aktor, sutradara, dan penulis naskah yang baik mampu membuat pertunjukan yang menarik dan bermutu. Karya-karya yang pernah dipentaskan antara lain: Orang-orang di Tikungan Jalan (1954), Bip Bop Rambaterata (Teater Mini Kata), Selamatan Anak Cucu Sulaiman, Mastodon dan Burung Kondor (1972), Kasidah Barzanji, Panembahan Reso (1986), dan Kisah Perjuangan Suku Naga.
2. Teater Populer
       Teater Populer dipimpin Teguh Karya dan pada perkembangannya grup teater ini beralih ke industri perfilman Indonesia. Para pemainnya misalnya: Slamet Rahardjo, El Malik, Christine Hakim, dan Nano Riantiarno. Setelah Teguh Karya meninggal para pemainnya lebih berorientasi ke dunia film.
3. Teater Kecil
      Kelompok Teater Kecil ini dipimpin oleh Arifin C. Noer. Arifin ialah penulis naskah yang produktif. Naskahnya dipandang mempunyai warna Indonesia. Penulis dari Cirebon ini sering memasukkan unsur kesenian
wilayahnya ke dalam naskah teater yang ditulis atau dipentaskannya. Karya-karyanya misalnya: Kapai-Kapai, Tengul, Madekur dan Tarkeni, Umang-Umang, Sandek Pemuda Pekerja, dan Sumur Tanpa Dasar.
4. Teater Koma
      Teater Koma dipimpin oleh Nano Riantiarno dan merupakan kelompok teater paling produktif di Indonesia beberapa tahun terakhir ini. Lebih dari seratus produksi panggung dan televisi yang pernah dipentaskan oleh Teater Koma. Nano Riantiarno ialah penulis naskah yang berpengaruh serta sutradara yang potensial. Karya-karyanya antara lain: Rumah Kertas, Maaf. Maaf. Maaf, Opera Kecoa, Opera Julini, Konglomerat Burisrawa, Semar Gugat, Suksesi, Opera Ikan Asin, dan Kenapa Leonardo?.
5. Teater Mandiri
       Kelompok Teater Modern Mandiri dipimpin oleh Putu Wijaya, seorang sastrawan dan dramawan kelahiran Bali. Putu mantan anggota Bengkel Teater Rendra dan termasuk penulis naskah ulung. Naskah-naskahnya mendapat warna berpengaruh dari naskah Menunggu Godot karya Samuel Beckett yang pernah dipentaskannya bersama Rendra di Bengkel Teater. Naskah ini mengisahkan ihwal penantian Vladimir dan Estragon terhadap datangnya Godot yang sampai pertunjukan selesai tidak kunjung datang.
Putu Wijaya, penulis naskah sekaligus salah satu sutradara mahir Indonesia.
Pertunjukan Dag Dig Dug karya Putu Wijaya oleh Teater Gidag Gidig di Teater Arena, Taman Budaya Surakarta, 2 Juni 2005.

6. Bengkel Muda Surabaya
       Lahir di kota Surabaya dan pada awal kemunculannya mengacu teater epik (Brecht) dengan idiom teater rakyat (kentrung dan ludruk). Tokoh yang tergabung dalam kelompok ini antara lain Akhudiat dan Basuki Rahmat.
7. Kelompok Teater yang Lain
      Di samping kelompok-kelompok teater yang sudah disebutkan di depan, banyak pula dramawan
yang menyemarakkan perkembangan teater modern nusantara di Indonesia. Misalnya: D. Djajakusuma, Wahyu Sihombing, Pramana Padmodarmaya (Teater Lembaga), Ikranegara (Teater Saja), Danarto (Teater Tanpa Penonton), Adi Kurdi (Teater Hitam Putih), Budi S. Otong (Teater SAE), Rudolf Puspa dan Derry Sirna (Teater Keliling), Ags. Arya Dwipayana (Teater Tetas), serta Dindon (Teater Kubur).

Selain di Jakarta, teater modern juga muncul dan berkembang di beberapa kota di Indonesia. Di Bandung muncul Teater Payung Hitam pimpinan Rahman Sabur dan Studiklub Teater Bandung pimpinan Suyatna Anirun. Di Yogyakarta muncul Teater Dinasti (Emha Ainun Nadjib), Teater Gandrik (Butet Kartaradjasa) dan Teater Garasi (Yudi Ahmad Tajudin sebagai eksekutif artistik), di Lampung muncul Teater
Satu Lampung (Iswadi Pratama). Sedangkan di Surakarta muncul Teater Gapit (Bambang Widoyo SP), Teater Gidag Gidig (Hanindawan), Teater Ruang (Joko Bibit Santosa), dan Kelompok Tonil Kloesed (Sosiawan Leak), di Makassar muncul pula Teater Merah Putih.
Itulah tadi bahasan mengenai kelompok teater modern nusantara, biar bermanfaat.

Langkah-Langkah Kerja Sutradara

Sutradara merupakan orang yang sangat penting terhadap jalannya suatu acara. di dalam merancang pertunjukan teater, diharapkan seorang sutradara yang bertanggung jawab pada wilayah pemanggungan. Sutradara yaitu orang yang mengaktualisasikan naskah ke dalam pentas. Ia akan dihadapkan pada pemeran (pemain), staf panggung menyerupai pemusik dan tim artistik lain, serta tak lupa publik atau penonton. Sutradara harus menyiapkan perencanaan kerja dan usaha-usaha kreatif bagi naskah yang dipilih dan akan dipertunjukkan.
      Langkah-langkah kerja sutradara mengenai konsep penggarapan sebagai bentuk penyutradaraan sebuah naskah yang telah dipilihnya tersebut, akan berkaitan dengan tugasnya selaku koordinator dalam latihan dan pentas. Japi Tambayong beropini bahwa kiprah sutradara mencakup “memilih naskah, menentukan pokok penaf-siran, menentukan pemain, bekerja dengan staf, melatih pemain, dan mengkoordinasi setiap bagian” (1981: 68-70). Sementara Harymawan dalam bukunya berjudul Dramaturgi menguraikan kiprah dalam proses sutradara yaitu menentukan nada dasar, casting, tata dan teknik pentas, menyusun mise en scene, menguatkan atau melemahkan scene, membuat aspek-aspek laku, dan memengaruhi jiwa pemain (1988:66). Perhatikan skema langkah kerja sutradara berikut ini:
Adapun secara garis besar kiprah sutradara berdasarkan Harymawan sebagai berikut.
a. Menentukan Nada Dasar
       Menentukan nada dasar yaitu kiprah sutradara untuk mencari motif yang merasuki kisah dan kemudian memberi ciri kejiwaan dalam suatu perwujudan cerita, sanggup bersifat sebagaimana berikut.
1) Menentukan dan menunjukkan suasana khusus.
2) Membuat lakon bangga menjadi suatu banyolan.
3) Mengurangi bobot peristiwa yang terlalu berlebihan.
4) Memberikan prinsip dasar pada cerita.
5) Ringan.
b. Menentukan Casting
       Menentukan casting ialah proses menentukan pemeran berdasarkan hasil analisis naskah untuk diwujudkan dalam pentas yang dilakukan oleh sutradara. Berbagai macam penentuan casting di antaranya sebagai berikut.
1) Casting by ability: casting berdasarkan kecakapan yang terbaik dan terpandai sebagai pemeran utama, serta menyebabkan pemain dengan tokoh-tokoh yang penting dan sukar.
2) Casting to type: casting berdasarkan kondisi/kesesuaian fisik pemain dengan tokoh yang diperankannya. Sutradara menentukan pemain yang sesuai untuk memerankan tokoh dengan melihat kesesuaian fisik pemain dengan tokoh yang akan diperankannya.
3) Antitype casting atau educational casting: casting yang agak bertentangan dengan keadaan watak, sifat, maupun fisik pemain dalam memerankan tokoh yang akan dimainkannya. Proses casting dengan model antitype casting ini akan membuat pemain lebih mengeksplor dirinya.
4) Casting to emotional temperament: casting berdasarkan hasil observasi hidup pribadi, adanya kesamaan/kesesuaian dengan kiprah yang dimainkan dalam hal emosi dan temperamen. Pada tipe casting gaya emotional temperament, sutradara akan lebih gampang mengarahkan para pemainnya alasannya yaitu mereka mempunyai kemiripan kondisi keseharian dengan tokoh yang diperankannya.
5) Therapeutic casting: casting yang dikemukakan untuk terapi seorang pelaku yang bertentangan sekali dengan tabiat aslinya. Casting memakai tipe ini bermaksud menyembuhkan atau mengurangi ketidakseimbangan jiwa serang pemain yang memerankan tokoh tertentu. Tipe penyutradaraan gaya therapeutic casting, sutradara sudah mencapai taraf di mana ia mengerti betul kondisi para pemainnya dan berusaha untuk menyeimbangkan kondisi kejiwaan para pemainnya.
Saat menentukan casting, sutradara harus menentukan pemain atau orang yang sesuai untuk memainkan tokoh yang dimaksud. Kesesuaian itu berdasar pada fisik, karakter, warna suara, temperamen
kesehariannya, dan mungkin juga pengalaman atau “jam terbang” yang dimilikinya dalam dunia panggung atau pemeranan.
c. Tata dan Teknik Pentas
       Tata dan teknis pentas yaitu segala langkah sutradara yang menyangkut penataan setting, penataan rias, dan penataan busana, penataan cahaya, serta penataan musik dan suara. Kesemuanya diadaptasi dengan nada dasar. Dalam merencanakan tata pentas, seorang sutradara mempunyai konsep mengenai tata pentas sebuah kisah yang akan disutradarainya, yang menunjukkan citra mengenai tata setting, tata rias, tata busana, tata cahaya, dan tata musiknya. Pelaksanaan tata pentas ini dikerjakan oleh pekerja panggung, menyerupai penata setting, penata rias dan penata busana, penata lampu, dan penata musik dan suara. Hubungan sutradara dengan pekerja panggung tersebut yaitu sutradara hanya menunjukkan konsep tata pentas secara garis besarnya saja, dan pekerja panggung mengerjakan berdasarkan konsep tata pentas sutradara.
d. Menyusun Miss en Scene
       Menyusun mise en scene yaitu sutradara menyusun segala perubahan yang terjadi pada kawasan permainan akhir adanya perpindahan pemain atau perlengkapan panggung. Pemberian bentuk mise en scene sanggup dicapai dengan hal-hal berikut.
1) Sikap pemain.
2) Pengelompokan.
3) Pembagian tempat kedudukan para pelaku.
4) Variasi dikala masuk dan keluar.
5) Variasi penempatan perabot panggung.
6) Variasi posisi dari dua pemain yang berhadap-hadapan.
7) Komposisi dengan memakai garis dalam penempatan pelaku.
8) Ekspresi kontras dalam warna maupun bentuk pakaian pemeran.
9) Efek yang ditimbulkan oleh penataan cahaya.
10) Memerhatikan ruang sekeliling pemeran.
11) Menguatkan atau melonggarkan kedudukan pemeran.
12) Memerhatikan latar belakang
13) Keseimbangan dalam komposisi pentas.
14) Dekorasi.
      Dalam menyusun mise and scene, sutradara akan menjumpai permasalahan mengenai bahasa naskah yang diangkat ke bahasa panggung, yang lazim disebut tekstur. Bahasa panggung atau tekstur meliputi: tata pentas, action, blocking, dan mood. Tata pentas meliputi: tata setting, tata rias dan busana, tata cahaya, dan tata musik. Action mencakup agresi dan reaksi yang dilakukan oleh tokoh atau pelaku di panggung; baik dalam bentuk gestur (gerak isyarat), business (kesibukan), dan movement (gerak berpindah tempat). Adapun blocking mencakup pengelompokan pemain, pembagian tempat kedudukan pemain, variasi dikala keluar dan masuk panggung, serta keseimbangan dalam komposisi dengan memakai garis dalam penempatan pelaku. Sedangkan mood merupakan suasana jiwa yang tercipta atau diciptakan dalam setiap babak atau adegan.
e. Menguatkan atau Melunakkan Scene
      Teknik ini yaitu cara sutradara untuk penggarapan suatu kisah yang dituangkan pada bagian-bagian adegan. Sutradara bebas menentukan tekanan pada bagian-bagian adegan berdasarkan pandangannya sendiri tanpa mengubah naskah. Kondisi penguatan dan pelunakan scene sanggup didukung dengan dampak cahaya dan musikalitas.
f. Menciptakan Aspek-aspek Laku
       Sutradara menunjukkan saran-saran pada para pemain semoga mereka membuat apa yang disebut laris simbolik atau akting kreatif, yaitu cara berperan yang biasanya tidak terdapat dalam isyarat naskah, tetapi diciptakan untuk memperkaya permainan, sehingga penonton lebih terang dengan kondisi batin seorang pemeran.
g. Memengaruhi Jiwa Pemain
       Ada dua macam kedudukan sutradara sebagai penggarap cerita, sebagai berikut.
1) Ciri sutradara teknikus
       Dia akan membuat suatu pertunjukan yang menyolok dan menarik perhatian publik dengan teknik dekor yang luar biasa, tata sinar yang menakjubkan, dan mewujudkan kostum yang menarik. Penyutradaraan teknikus terkesan mengelabuhi penonton dengan tampilan secara visual tanpa memahami unsur keaktoran yang notabene sebagai media penyampai maksud isi naskah teater.
2) Ciri sutradara psikolog
       Gaya sutradara psikolog memang kurang memerhatikan aspek lain di luar keaktoran alasannya yaitu dalam penggambaran tabiat ia akan lebih mengutamakan tekanan psikologis, khususnya pada cara akting yang murni ketika prestasi permainan eksklusif ditempatkan dalam arti sebenarnya. Jadi, aspek di luar wilayah keaktoran agak dikesampingkan. (Harymawan dalam Dramaturgi, 1988:66–77)