Sekolah Bawah Umur Petinggi Google Dan Apple Justru Mengharamkan Teknologi


Sekolah Waldorf berlokasi di Lembah Silikon AS, kawasan belum sampaumur para petinggi Google dan Apple bersekolah alih-alih menggunakan tablet, sekolah ini malah menggunakan papan tulis lawas. Stylus diganti kapur tulis. Namun justru banyak murid sekolah ini yakni belum sampaumur petinggi perusahaan gawai. Lulusannya pun tak mengecewakan.

“Tak ada satu pun penelitian ilmiah yang sanggup pertanda bahwa komputer bisa membuat belum sampaumur pintar. Pendidikan harus ditujukan sebagai proses belum sampaumur mengenal diri maupun dunianya secara bebas melalui metode-metode ilmiah,” kata Cathy Waheed, seorang guru di Waldorf School of the Peninsula, Amerika Serikat.

Tak heran jika Cathy Waheed tak menggunakan perangkat digital dikala mengajarkan matematika kepada belum sampaumur didiknya. Justru kembali ke masa-masa dikala orang menggunakan sabak dikala berguru di kelas.

Ya, Cathy memanfaatkan buah-buahan, kue, atau roti yang dipotong-potong.

“Saya yakin dengan cara ini belum sampaumur bisa menguasai matematika secara mudah. Mengajarkan siswa menggunakan komputer tak akan membuat mereka lebih pintar,” kata Waheed.

Memanusiakan Manusia

Sekolah Waldorf memang menarik perhatian karena dikala yang lain berlomba-lomba memasukkan perangkat digital ke ruang kelas mereka, Waldorf justru menampiknya.

Padahal salah satu lokasi sekolah Waldorf yang mendidik belum sampaumur usia dini sampai kelas lima ada di Los Altos Kalifornia yang notabene yakni Lembah Silikon di AS.

Murid-murid sekolah ini pun bukan sembarangan. Beberapa dari mereka yakni belum sampaumur petinggi yang bekerja di perusahaan gawai atau portal internet mirip Google, Apple, E-bay, Yahoo!, dan Hewlett-Packard.

“Saya secara mendasar menolak gagasan bahwa kita membutuhkan dukungan teknologi digital di sekolah dasar,” kata Alan Eagle, executive communication Google. Atas pertimbangan itu Eagle menyekolahkan putrinya di Waldorf School yang berlandaskan pada filosofi pendidikan “memanusiakan manusia”.

Seakan menyesuaikan dengan isi kelas yang tanpa sentuhan digital, kelas-kelas di Sekolah Waldorf mirip kelas klasik. Dindingnya dari kayu.

Untuk berinteraksi antara guru dan murid disediakan papan tulis dan kapurnya. Buku-buku elektronik terang tidak ada. Sebagai gantinya buku ensiklopedi. Murid-murid pun mencatat di buku tulis biasa menggunakan pensil.

Para murid secara rutin berguru dan bermain di tanah lapang atau lahan bercocok tanam milik sekolah. Ya, berbecek-becek dan main lumpur. Aktivitas yang bisa jadi hanya dilakukan di sekolah-sekolah biasa sekali setahun dikala melakukan karyawisata atau diajak keluarga.

Bahkan pelajaran kerajinan tangan atau prakarya masih diajarkan di sekolah ini. Seperti yang dilakukan oleh Andie, putri Eagle tadi. Ia terlihat asyik membuat kaos kaki.

Merajut, menurut salah seorang guru di Waldorf mirip dikutip dari The New York Times, bisa membantu belum sampaumur berguru memahami referensi dan matematika. Menggunakan jarum dan benang sanggup mengasah kemampuan murid-murid memecahkan problem dan berguru koordinasi.

Anak-anak pada dasarnya memiliki rasa ingin tahu yang besar, selalu memandang dengan kaca mata optimistis, ulet, kreatif, penuh cinta kasih, berdaya cipta, dan simpel beradaptasi.

Para pendidik di Waldorf sadar bahwa kiprah sekolah yakni untuk memelihara dan membuatkan kualitas-kualitas tadi sehingga belum sampaumur itu sanggup tumbuh sesuai kapasitasnya di masa depan.

Pendidikan modern - di sisi lain - berfokus pada akademik saja dan melupakan sifat-sifat penting yang membentuk tumbuh kembang anak.

Misalnya saja perkembangan perasaan positif (emosi, estetika, dan kemampuan bersosialisasi), cita-cita positif (percaya diri dan kemampuan untuk melakukan sesuatu dengan baik), dan kekuatan nilai dalam diri yang sanggup melihat benar dan salah.

Pelajaran Merajut

Sekolah Waldorf memang kemudian memunculkan pertanyaan seputar kiprah serta komputer dalam pendidikan. Namun, coba dengar omongan Eagle yang tak hanya putrinya, namun juga putranya – William (13) – sekolah di Waldorf.

“Gagasan bahwa sebuah aplikasi di iPad sanggup mengajar anak saya untuk membaca atau merampungkan soal aritmetika dengan lebih baik sangat menggelikan.”

Seperti sudah disebut tadi, Eagle yakni petinggi Google. Ia yang menulis pidato bosnya, Eric E. Schmidt. Gelar yang diraihnya yakni ilmu komputer dari Dartmouth di Hanover, New Hampshire, AS. Ia pengguna iPad dan ponsel pintar.

Akan tetapi, ia bilang bahwa Andie belum tahu bagaimana menggunakan Google. Sedangkan William sedang berguru soal itu. Ini sesuai dengan kebijakan di Waldorf yang baru mendukung penggunakan gawai secara terbatas pada kelas delapan.

Sekitar 3/4 murid di Waldorf memiliki orangtua yang bersinggungan besar lengan berkuasa dengan teknologi tinggi. Eagle tak melihat itu sebagai sebuah kontradiksi. Teknologi, baginya, memiliki ruang dan waktu tersendiri.

“Jika saya bekerja di Miramax dan membuat film yang bagus, penuh sentuhan seni, namun termasuk film terpelajar balig cukup nalar (rated R), tentu saja saya tak akan membolehkan belum sampaumur saya menontonnya sampai mereka usia 17 tahun.”

Melihat apa yang dikerjakan murid-murid Waldorf, mereka yang pernah bersekolah di sekolah dasar sekitar tahun 1980-an akan teringat masa-masa sekolah. Seperti yang dilakukan oleh Andie Eagle dan teman-temannya di kelas lima.

Mereka sedang mengasah kemampuan merajut! Gulungan benang tertarik-tarik dikala jari-jari mungil itu memainkan jarum membentuk (calon) kaos kaki. Diyakini program ini membantu membuatkan pemecahan solusi, peneladanan, kemampuan matematika, dan koordinasi saraf.

Di kelas dua, murid-murid bangun dalam sebuah bundar berguru soal kemampuan berbahasa dengan mengulang kata-kata yang diucapkan gurunya, sembari mereka bermain lempar tangkap sebuah benda.

Aktivitas ini bertujuan untuk menyelaraskan antara tubuh dan otak. Di sekolah ini, mirip di kelas lain, hari berguru dimulai dengan hafalan atau ayat-ayat ihwal Ketuhanan yang mencerminkan sebuah pementingan nondenominasional pada keilahian.

Cathy Waheed, yang bekas insinyur komputer, mencoba membuat berguru menjadi sangat menarik dan menyentuh perasaan. Tahun sebelumnya ia mengajarkan soal pembagian dengan meminta belum sampaumur untuk memotong buah menjadi bagian-bagian yang diinginkan, misalnya seperempat, separo, atau seperenam belas.

“Selama tiga minggu, kami memakan masakan sambil berguru pembagian. Ketika saya membagi kudapan manis sehingga semua anak kebagian, apakah Anda berpikir saya memperhatikan mereka?”

Beberapa pakar pendidikan menyatakan bahwa menyediakan komputer di ruang kelas bukan sebuah jaminan alasannya penelitian tidak secara terang menyampaikan bahwa hal itu membuat nilai ujian lebih baik atau parameter lain membaik.

Apakah model pembelajaran mirip pembagian kudapan manis dan merajut tadi lebih baik? Sulit untuk membandingkan alasannya sebagai sekolah swasta Waldorf tidak mengadakan tes standar di tingkat dasar.

Mereka juga jujur mengakui bahwa murid tingkat dasar mereka (mungkin) akan memiliki skor yang jelek dibandingkan dengan sekolah umum alasannya Waldorf tidak mengikuti kurikulum standar matematika dan membaca.

Teknologi Justru Mengganggu

Apa yang dilakukan Waldorf memang masih bisa diperdebatkan. Akan tetapi, Asosiasi Sekolah Waldorf di Amerika Utara merujuk pada penelitian yang dilakukan oleh afiliasi sekolah ini.

Penelitian itu mengungkapkan bahwa 94% murid lulusan SMA Waldorf di AS antara 1994 dan 2004 masuk ke lembaga bergengsi mirip Oberlin College, Ohio, AS; University of California, Berkeley, California, AS; dan Vassar College, New York, AS.

Bisa jadi Anda menyergah keberhasilan tadi dengan menyodorkan alasan bahwa murid-murid di Waldorf berasal dari keluarga mapan yang cukup punya dana untuk memasukkan belum sampaumur mereka ke sekolah swasta bergengsi.

Jadi, agak susah untuk memisahkan efek model pengajaran minim teknologi dari faktor-faktor lain. Di sisi lain, banyaknya guru-guru yang berlatih secara ekstensif model pendekatan Waldorf ini mengindikasikan bahwa ada yang kurang di sekolah-sekolah non-Waldorf.

Karena belum ada bukti jelas, perdebatan pun merambah ke subjektivitas, pilihan orangtua, dan perbedaan pendapat atas dunia yang tunggal: keterlibatan. Pendukung sekolah berteknologi berpendapat bahwa komputer sanggup menarik perhatian siswa. Pada kenyataannya, belum sampaumur yang tidak boleh interaksinya dengan peralatan elektronik tidak akan “tune in” tanpa peralatan tadi.

Ann Fynn, eksekutif teknologi pendidikan di Asosiasi Dewan Sekolah Nasional, yang mewakili dewan sekolah seluruh negeri AS, menyatakan bahwa komputer penting. “Jika sekolah memiliki terusan ke sebuah peralatan dan sanggup mengusahakan keberadaan alat tersebut, namun tidak menggunakannya, mereka telah membohongi murid-murid.”

Paul Thomas, bekas pengajar dan associate professor bidang pendidikan di Furman University, South Carolina, yang telah menulis 12 buku ihwal metoda pendidikan publik, tidak setuju.

“Pendekatan berjarak terhadap teknologi di ruang kelas akan selalu memberi keuntungan belajar. Mengajar yakni pengalaman manusia. Teknologi yakni gangguan dikala kita membutuhkan literasi, numerasi, dan pemikiran yang kritis,” kata Paul Thomas.

Ibarat Menggunakan Pasta Gigi

Mereka yang kontra dengan sistem Waldorf berpendapat bahwa belum sampaumur butuh mengenal komputer untuk bersaing di dunia modern.

Pendapat itu disanggah orangtua murid Waldorf. Apa gunanya terburu-buru, sementara sangat simpel untuk memperoleh kemampuan itu? Begitu elak mereka.

“Sangat mudah. Itu mirip berguru menggunakan pasta gigi,” kata Eagle. “Di Google dan semua perusahaan pembuat teknologi digital, kami membuat teknologi segampang mungkin. Bahkan tak perlu berpikir sampai mengkerut. Tak ada alasan belum sampaumur tak bisa melakukan hal itu dikala mereka dewasa.” Seperti jargon Nokia dikala jaya, “Teknologi yang mengerti Anda.”

Prinsip Waldorf tak hanya diamini orangtua yang anaknya sekolah di situ. Namun banyak orangtua yang baiklah dan menyekolahkan anaknya di sekolah yang terinspirasi oleh prinsip-prinsip pendidikan Waldorf.

Di California ada 40 Sekolah Waldorf, termasuk yang besar “Mungkin dikarenakan gerakan itu bermula dari sini,” kata Lucy Wurtz.

Bersama suaminya, Brad, Lucy membantu berdirinya SMA Waldorf di Los Altos tahun 2007. Brad Wurtz merupakan chief executive Power Assure, yang produknya bertujuan untuk mengurangi beban energi pada pusat data komputer.

Untuk bersekolah ke Waldorf tentu butuh uang tak sedikit: biaya tahunan Waldorf di Lembah Silikon yakni AS$17.750 untuk TK sampai kelas 8 dan AS$24.400 untuk SMA.

Kata Lucy, ada dukungan keuangan bagi mereka yang kurang mampu. Menurut Lucy, orangtua murid Waldorf kebanyakan berpikiran moderat dan berpendidikan tinggi. Mereka punya pandangan tersendiri soal pendidikan.

Mereka juga memiliki pengetahuan kapan mereka siap memperkenalkan anak mereka dengan teknologi. Mereka memiliki terusan dan keahlian di rumah.

Murid-murid sendiri merasa tidak terasing dengan teknologi. Andie Eagle dan teman-temannya di kelas lima berterus terang bahwa mereka sesekali menonton film.

Salah seorang gadis, yang ayahnya bekerja sebagai insinyur di Apple, malah sering diminta ayahnya untuk menguji coba permainan yang sedang dibikin ayahnya. Seorang murid lelaki bermain kegiatan simulasi penerbangan di jawaban pekan.

Namun, sikap antigawai belum sampaumur Waldorf itu bikin mereka frustrasi dikala bersosialisasi dengan masyarakat umum. Terutama mereka yang sibuk dengan ponsel dan perangkat digital lainnya.

Aurad Kamkar (11) bercerita belum lama ini mengunjungi sepupunya dan menerima ia duduk sendirian di kelilingi lima saudaranya yang asyik dengan gawai mereka masing-masing, tanpa menghiraukan dirinya.

Ia pun mulai melambaikan tangan dan berkata kepada mereka, “Halo semua, saya ada di sini.”

Lain lagi dengan pengalaman Finn Heilig (10) yang ayahnya bekerja di Google. Ia mengemukakan alasan mengapa lebih suka berguru menggunakan bolpoin dan kertas daripada di komputer.

“Saya sanggup memantau kemampuan saya tahun demi tahun. Saya bisa melihat ke belakang dan melihat bagaimana acakadutnya ukiran pena saya dikala kelas satu.

Nah, kita tak bisa melakukan hal itu di komputer karena semua abjad sama,” kata Finn.

Selain itu, jika kita berguru menulis di kertas, kita masih tetap sanggup menulis meskipun komputer bermasalah atau listrik sedang mati.


EmoticonEmoticon