Dalam kehidupan di dunia ini, Allah Swt memperlihatkan panorama kehidupan yang tidak sama. Banyak
hal yang terjadi dalam kehidupan ini berpasang-pasangan, ada siang-malam, laki-perempuan, dan kaya-miskin. Dengan aturan pasangan tersebut, muncul pula kelompok orang-orang yang kurang beruntung, baik secara fisik, ekonomi, intelektual ataupun kekuasaan (politik). Kelompok-kelompok yang kurang beruntung ini dalam Al-Quran disebut sebagai kaum dhu’afa (kaum lemah atau kurang beruntung).
Bila dirinci secara keilmuan, munculnya kaum dhuafa ini sanggup disebabkan lantaran beberapa hal. Setidaknya ada tiga faktor umum yang potensial menjadikan munculnya kelompok lemah:
Bila dirinci secara keilmuan, munculnya kaum dhuafa ini sanggup disebabkan lantaran beberapa hal. Setidaknya ada tiga faktor umum yang potensial menjadikan munculnya kelompok lemah:
1. Lahirnya dhuafa (kaum lemah) lantaran unsur fisik atau biologis
Ketidaksempurnaan fisik potensial menjadi penyebab seseorang menjadi orang lemah. Memang benar, tidak semua orang cacat fisik sanggup dikategorikan sebagai orang lemah, lantaran di dunia ini sempat melahirkan orang cacat menjadi terhormat, baik sebagai pelukis dunia, penyanyi maupun pemimpin politik. Bagi kalangan muslim, mungkin mengenal pemikir Mesir yang menjadi Menteri pendidikan yaitu Dr. Thoha Husein. Orang ini ialah cendikiawan muslim yang buta, namun mempunyai kemampuan intelektual yang tinggi. Namun demikian, di lingkungan masyarakat kita pada umumnya, mereka yang mempunyai keterbatasan fisik menjadi kelompok masyarakat yang lemah.
2. Kelemahan yang disebabkan lantaran faktor kultural
Orang yang pemalas ialah ciri dasar dari kelemahan individu atau masyarakat lantaran problem kultural. Orang (atau masyarakat) ibarat ini lemah bukan lantaran cacat fisik, namun lemah lantaran mentalnya ialah mental pemalas dan tidak mempunyai semangat dalam hidup.
3. Kelemahan individu atau masyarakat lantaran faktor struktural
Di zaman kolonial dulu, rakyat Indonesia banyak yang miskin, sakit-sakitan dan bodoh. Nasib yang diderita rakyat kita tersebut, bukan lantaran keterbatasan fisik atau mental rakyat Indonesia yang lemah, namun lebih disebabkan lantaran kekuasaan kaum kolonial yang refresif (memaksa, menekan dan menjajah) kaum pribumi supaya tetap bodoh, miskin dan tidak berdaya.
Dalam konteks ibarat inilah, maka kaum muslimin di zaman modern ini dituntut untuk mempunyai kepekaan, kesantunan, dan kesetiakawanan yang tinggi kepada kaum yang lemah. Karena mereka ialah belahan dari umat, belahan dari bangsa dan belahan dari masyarakat kita sendiri. Kebutuhan untuk menyantuni kaum yang lemah atau teraniaya ini, selain menjadi kewajiban budbahasa sebagai sesama anggota masyarakat, juga sanggup dikaitkan dengan tujuan untuk menghindari petaka dari Allah Swt. Dalam hadis qudsi, Allah Swt berfirman :
Terjemah:
Terjemah:
Demi kemuliaan dan keagungan-Ku. Pasti akan Ku balas si penganiaya cepat atau lambat, dan niscaya akan Ku balas orang yang melihat seseorang teraniaya tetapi ia tidak menolongnya, padahal ia bisa melakukannya. (HR. Thabrani).
Allah Swt memberitahukan kepada kita, bahwa Dia akan mengambil tindakan akhir kepada orang yang melaksanakan penganiayaan atau penindasan dan akan memberi eksekusi baik di dunia maupun di akherat. Hal yang paling mengerikan ialah Allah Swt pun akan memperlihatkan peringatan (hukuman) kepada mereka yang melihat penganiayaan namun malahan membiarkannya. Terkait dengan problem ini, dalam membangun masyarakat Islam yang sejahtera tidak cukup hanya dengan prihatin atau peduli. Setiap muslim sudah saatnya untuk memperlihatkan sikap positif dalam melaksanakan pembelaan dan proteksi terhadap kaum dhuafa. Di antara 11 (sebelas) bentuk sikap kebaikan sebagaimana dinyatakan dalam Qs. Al-Baqarah ayat 177, ada dua sikap positif dalam menyantuni kaum dhuafa. Kedua sikap positif dalam menyantuni kaum dhua’afa itu tersirat dalam kewajiban muslim.
Baca juga: QS Al-Isra Ayat 26-27 Tentang Menyantuni Kaum Dhuafa 😊
Baca juga: QS Al-Isra Ayat 26-27 Tentang Menyantuni Kaum Dhuafa 😊
Bentuk kepedulian dan kesetiakawanan seorang muslim, ternyata sanggup dilakukan dalam dua bentuk.
Pertama, santunan dalam bentuk ekonomi. Hal ini ditunjukkan dalam memperlihatkan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, bawah umur yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta.
Semenjak tsunami di Aceh dan Nias pada final 2005, negara kita terus dilanda tragedi dan musibah. Bencana alam tersebut tiba silih berganti, ibarat tsunami, banjir, longsoran tanah dan sampah, gempa dan letusan gunung berapi. Selain itu, petaka gizi jelek atau lumpuh layu pun menimpa sebagian dari masyarakat Indonesia.
Kondisi tersebut merupakan satu belahan dari kenyataan hidup yang ada di masyarakat kita. Sebagai seorang yang beragama, kita yakin bahwa apapun yang terjadi dalam hidup dan kehidupan ini terjadi lantaran izin Allah Swt., namun demikian Allah Swt telah memperlihatkan perintah kepada kita untuk menafakuri banyak sekali kejadian tersebut dan lalu mencari solusi untuk menghadapi problem tersebut.
Salah satu di antara yang sanggup dilakukan orang muslim dalam menghadapi problem sosial ekonomi ini yaitu memperlihatkan sikap kedermawaman terhadap sesama muslim. Dalam Qur’an surah ali Imran ayat 92, Allah Swt berfirman :
لَن تَنَالُوا الْبِرَّ حَتَّىٰ تُنفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ ۚ وَمَا تُنفِقُوا مِن شَيْءٍ فَإِنَّ اللَّهَ بِهِ عَلِيمٌ
Terjemahan:
Kamu sekali-kali tidak hingga kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kau menafkahkan sehahagian harta yang kau cintai. dan apa saja yang kau nafkahkan Maka Sesungguhnya Allah mengetahuinya. Ayat tersebut memperlihatkan klarifikasi pemanis terhadap ayat-ayat yang sudah dikemukakan sebelumnya, wacana wujud kebaktian atau sikap yang baik di hadapan Allah Swt itu tidak cukup hanya doktrin kepada-Nya saja, namun perlu ditunjukkan pula dalam bentuk kedermawanan kepada sesama.
Kedua, santunan dalam bentuk proteksi dan pembebasan, hal ini ditunjukkan dalam perintah untuk (memerdekakan) hamba sahaya. Santunan dalam bentuk ini, cocok dengan pentingnya santunan untuk melaksanakan pembebasan kaum dhuafa dari struktur atau sistem yang tidak menguntungkannya.
Islam merupakan agama yang tepat dan lengkap (kaffah dan syumul). Semenjak awal, impian dan tujuan diturunkan Islam ialah untuk membangun masyarakat yang ideal, yaitu masyarakat yang berkeadilan (al’adalah), menjunjung tinggi persamaan atau egaliter (al-musawa), kondusif sentosa (al-amanah). Untuk mewujudkan masyarakat ideal itu, maka banyak sekali tindakan yang sanggup melemah pihak lain harus dihindari dan dihapuskan. Dalam sejarah Islam, insan yang menindas insan itu dicontohkan oleh tokoh Fir’aun. Raja Mesir kuno ini ialah tokoh yang menyatakan diri sebagai Tuhan dan memperlakukan rakyatnya sebagai budak. Melihat kenyataan ibarat itu, Nabi Musa as yang diutus Allah Swt untuk zaman tersebut mempunyai kiprah untuk membebaskan kaum lemah di masanya. Kepedulian dan tindakan Nabi Musa as waktu itu merupakan salah satu bentuk positif dalam memperlihatkan kepedulian dan kepekaan terhadap kaum yang lemah (Dhu’afa) secara struktural.
Selain kedua bentuk santunan tersebut, seorang muslim pun sanggup melaksanakan santunan kepada kaum dhuafa dengan tujuan untuk membebaskan masyarakat atau kaum lemah dari kebodohan.
Semenjak awal, Islam ialah agama yang mempunyai kepedulian terhadap dunia pendidikan. Hal ini ditunjukkan oleh surat dan ayat pertama yang diwahyukan kepada Rasulullah Muhammad saw yang sarat dengan makna pendidikan. Oleh lantaran itu, perjuangan dan tanggungjawab seorang muslim terhadap orang lemah bisa dilakukan dalam banyak sekali bentuk di antaranya dalam bidang ekonomi untuk pemberdayaan daya beli masyarakat, dalam bidang pendidikan untuk peningkatan kualitas sumber daya manusia, dan dalam proteksi aturan atau struktural dari sistem kekuasaan yang memperbudak.
Sehubungan dengan hal ini, ada hadis qudsi yang memperjelas wacana pentingnya sikap kedermawanan kepada sesama. Hadis Qudsi ini bersumber dari Abu Umamah ra. yang diriwayatkan Baihaqi.
Terjemahan:
Terjemahan:
Wahai anak Adam, Jika engkau mendermakan kelebihan hartamu, maka kebaikanlah bagimu. Tetapi sekiranya engkau mengepalkan tanganmu (karena kikir), maka keburukanlah bagimu. Engkau tidak dicela atas kecekukupan yang ada (tidak hiperbola tapi qona’ah/cukup dengan apa yang ada), dan mulailah dengan orang yang engkau tanggung (dengan memperlihatkan nafkah belanja seadanya). Dan tangan sebelah atas (yang memberi) lebih baik dari tangan di bawah (yang meminta).
Kekuatan sedekah atau kedermawanan ini ditemukan pula dalam hadis yang diriwayatkan oleh Turmudzi dan Ahmad.
Tatkala Allah SWT membuat bumi, maka bumi pun bergetar. Lalu Allah pun membuat gunung dengan kekuatan yang telah diberikan kepadanya, ternyata bumi pun terdiam. Para malaikat terheran-heran akan penciptaan gunung tersebut. Kemudian mereka bertanya, “Ya Rabbi, adakah sesuatu dalam penciptaan-Mu yang lebih berpengaruh dari pada gunung?”
Allah menjawab, “Ada, yaitu besi”.
Para malaikat pun kembali bertanya, “Ya Rabbi adakah sesuatu dalam penciptaan-Mu yang lebih berpengaruh dari pada besi?”
Allah yang Mahasuci menjawab, “Ada, yaitu api”.
Bertanya kembali para malaikat, “Ya Rabbi adakah sesuatu dalam penciptaan-Mu yang lebih berpengaruh dari pada api?”
Allah yang Mahaagung menjawab, “Ada, yaitu air”.
“Ya Rabbi adakah sesuatu dalam penciptaan-Mu yang lebih berpengaruh dari air?” Kembali bertanya para malaikat.
Allah yang Mahatinggi dan Mahasempurna menjawab, “Ada, yaitu angin”.
Akhirnya para malaikat pun bertanya lagi, “Ya Allah adakah sesuatu dalam penciptaan-Mu yang lebih dari semua itu?”
Allah yang Mahagagah dan Mahadahsyat kehebatan-Nya menjawab,
“Ada, yaitu amal anak Adam yang mengeluarkan sedekah dengan tangan kanannya sementara tangan kirinya tidak mengetahuinya.”
(Sumber: Buku PAI)
(Sumber: Buku PAI)
EmoticonEmoticon