Simposium Sains Australia Indonesia (AISS, The Australia Indonesia Science Symposium ) baru-baru ini menampilkan para peneliti berkarir awal dan menengah untuk membahas peluang dan tantangan dari mengejar karir di bidang sains. Australia Plus berbicara kepada lima di antara mereka.
Diadakan di Shine Dome, gedung ikonik milik Akademi Sains Australia di Canberra, dari tanggal 28 November-1 Desember, simposium ini ialah simposium perdana yang digelar. Penyelenggaraannya diperlukan akan mendorong lebih banyak kerja sama dan pertukaran pengetahuan antara ilmuwan Australia dan Indonesia, dan memperkuat relasi di antara kedua negara tetangga tersebut.
Dr Nana Saleh
Dr Nana Saleh ialah Sekretaris Jenderal Akademi Ilmuwan Muda Indonesia (ALMI) dan seorang akademisi di Universitas Hasanuddin, Makassar.
"Ilmu pengetahuan ialah bidang yang menggairahkan bagi saya alasannya ialah Anda sanggup mendapat balasan yang gres setiap hari," katanya.
Ia menuturkan, "Sebenarnya ini ialah pekerjaan yang tak pernah berhenti alasannya ialah ... satu balasan akan membawa Anda ke lebih banyak pertanyaan sehingga bagi saya itu benar-benar menarik."
Dr Nana mengatakan, salah satu tantangan menjadi seorang ilmuwan di Indonesia ialah begitu banyaknya hal sudah dianggap hal yang seharusnya ada di Australia, menyerupai infrastruktur untuk melaksanakan penelitian, justru tak terlalu maju di Indonesia.
"Ketika Anda tiba ke Indonesia, terutama ketika Anda tak berada di sentra penelitian, tetapi benar-benar berada di sebuah universitas biasa (khususnya di luar Jawa alasannya ialah kami berasal dari Indonesia timur), kondisinya tak begitu baik," jelasnya.
"Keadaannya berubah sesuai harapan kami tapi saya pikir kami masih membutuhkan kemauan yang besar lengan berkuasa dari pemerintah untuk melihat pentingnya memberdayakan para ilmuwan kami," harapnya.
Ia menyambung, "Tak ada bangsa yang maju tanpa mendorong perkembangan sains di tengah masyarakat."
Dr Nana melihat relasi Indonesia dengan tetangga terdekatnya, Australia, sebagai upaya untuk membantu mimpi itu.
"Kolaborasi dalam ilmu pengetahuan gotong royong tanpa batas, sains ialah bahasa universal sehingga kami perlu mengedepankannya. Berpikir kritis sangat penting Indonesia yang beragam," utaranya."Kami perlu berguru dari Australia dan Australia tentu saja akan berguru sesuatu dari kami," tutur Nana Saleh.
Associate Professor Drew Evans
Associate Professor Drew Evans ialah Anggota Dewan Eksekutif dari Forum Peneliti Berkarir Awal-Menengah Australia dan berbasis di Universitas Australia Selatan.
"Saat masih mahasiswa, saya gotong royong tak tahu apa yang ingin saya lakukan. Sains mewakili pendidikan dasar yang berpotensi membawa saya kemana-pun saya mau," ungkapnya.
Terlepas dari kebebasan yang ditawarkan oleh pendidikan ilmiah, Associate Profesor Drew mengatakan, salah satu tantangan terbesar dalam mengejar karir di bidang sains ialah Australia tak mengetahui bahwa peluangnya ada di luar sana.
"Saya lulus PhD kemudian melaksanakan pekerjaan yang agak mendasar, saya pindah ke industri dan masuk ke manufaktur. Dan kemudian dari sana saya pindah kembali ke sektor universitas," ungkapnya.
Banyak lulusan sains akan menilai bahwa jalur karir itu begitu absurd mengingat mereka berangan-angan untuk berkarir di bidang akademis. Associate Prof Drew mengatakan, asumsi-asumsi itu perlu ditantang.
"Mematahkan stereotip, dan memahami ilmu pengetahuan, dan metodologi dalam sains dan teknik, menempatkan Anda dalam posisi yang baik untuk melaksanakan banyak sekali macam hal," sebutnya.
Ia berharap bahwa salah satu hal utama yang dihasilkan dari AISS ialah obrolan yang jauh lebih besar antara para peneliti muda di Australia dan Indonesia, yang mengarah ke kerja sama lebih formal di masa depan."Ini mengubah filosofi dasar wacana apa yang harus dilakukan seorang ilmuwan," kata Prof Drew.
"Bagi saya itu benar-benar wacana membuat komunitas dan pemahaman bahwa kita semua ada di tempat yang sama. Karena bila Anda menemukan orang yang cocok diajak bergaul, bekerja dengan baik bersamanya, maka Anda akan selalu menemukan cara untuk bekerja dengan mereka," pendapat Prof Drew.
Dr Aysha Fleming
Dr Aysha Fleming ialah ketua delegasi Australia di Simposium Sains Kavli Frontiers Indonesia-Amerika 2016 dan seorang ilmuwan sosial yang berfokus pada perubahan iklim di CSIRO.
Dr Aysha menjadi seorang ilmuwan alasannya ialah ia ingin mengubah dunia.
"Apa yang benar-benar saya suka ialah menyaksikan imbas dan perubahan yang sanggup dilihat. Anda tahu bahwa Anda benar-benar memperlihatkan bantuan kepada dunia," ungkapnya.
Baginya, tantangan terbesar yang ia hadapi dalam karir ilmiahnya ialah mendapat pendanaan.
"Banyak pekerjaan saya melibatkan pekerjaan lain dengan mengamati hal-hal selain perubahan iklim, sehingga secara umum itu berkelanjutan atau keterkaitan jenis lainnya," kata Dr Aysha.
"Hal yang sulit ketika Anda mempunyai gairah kasatmata terhadap sesuatu dan Anda ingin mengejarnya pribadi tetapi Anda mempunyai kendala alasannya ialah pendanaan," ujarnya.
Ia percaya bahwa mempunyai peneliti awal dan tengah karir di panel persetujuan hibah akan menjadi langkah besar ke depan alasannya ialah Anda akan mulai melihat keragaman yang lebih besar dari proyek-proyek yang didanai.
"Untuk hingga ke tahap pengambilan keputusan ialah penghalang nyatanya, terutama untuk peneliti awal karir," terperinci Dr Aysha.
"Pandangan bahwa Anda harus menandakan diri sebelum Anda sanggup bergabung itu masih berlaku, tapi saya pikir kami sanggup menandakan diri sehabis kami berada di sana," lanjutnya.
Ia memaparkan, manfaat dari program menyerupai AISS ialah keragaman ilmuwan yang ditampilkan, alasannya ialah melalui keberagaman-lah Anda mendapat ide-ide gres yang hebat.
Dr Sudirman Nasir"Jika tidak, kami tak akan bertemu. Begitu banyak orang yang tak akan saya temui, baik di Australia dan Indonesia, dalam semua disiplin ilmu," tutur Dr Aysha.
Dr Sudirman Nasir ialah anggota dari ALMI dan seorang akademisi di bidang kesehatan masyarakat di Universitas Hasanuddin, Makassar.
Sejak kecil, ia suka bertanya "Mengapa?". Itu ialah sifat yang telah membantunya mengejar karir di bidang sains, terlepas dari tantangan melakukannya di Indonesia.
"Budaya keunggulan ilmiah tak ada di sana (Indonesia). Terutama bila Anda bekerja di universitas, di sana masih kental universitas berbasis pengajaran dan alasannya ialah kami punya banyak mahasiswa, mengajar, meneliti dan menerbitkan karya ialah tantangan tersendiri," saya Dr Sudirman.
Tapi ia termotivasi oleh tugas yang dimainkan Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) dan ALMI dalam menyatukan ilmuwan muda.
Peresmian Dana Sains Indonesia pada awal tahun ini menjadi pemicu untuk lebih optimistis."Kami sanggup berguru dari satu sama lain dan juga menjembatani kesenjangan di antara orang-orang muda dari banyak sekali lembaga yang berbeda dan banyak sekali latar belakang," kata Dr Sudirman.
"Untuk pertama kalinya, kami mempunyai bagan penelitian yang benar-benar didasarkan pada prestasi dan didasarkan pada persaingan yang sehat, dan berbasis keunggulan," ujar Dr Sudirman.
Ia melihat AISS sebagai semacam perjodohan bagi ilmu pengetahuan, alasannya ialah simposium ini memungkinkan Anda untuk mengetahui orang-orang yang bekerja di banyak sekali bidang.
"Kami sanggup memperlihatkan pola nyata, terutama untuk mahasiswa S1, wacana ... bagaimana ilmu pengetahuan membutuhkan kerjasama berkelanjutan antara para ilmuwan dari banyak sekali negara dan tempat yang berbeda," pendapatnya.
"Jadi menginspirasi mereka untuk menjadi lebih terbuka dan untuk berbagi diri, sehingga ... suatu hari mereka juga sanggup mempunyai kesempatan menyerupai itu," sambungnya.
Dr Nikola Bowden
Dr Nikola Bowden ialah Ketua dari Forum Peneliti Berkarir Awal-Menengah Australia dan bekerja dalam penelitian kanker di Universitas Newcastle.
"Ketertarikan saya terhadap ilmu pengetahuan alasannya ialah pemecahan problem yang ditawarkan. Seseorang tiba kepada kami dengan problem atau isu, dan kami duduk kemudian mencari tahu pertanyaan apa yang perlu kami usikan demi mendapat balasan untuk mereka," ujarnya.
Ia mengatakan, tantangan utama yang ia temui dalam karirnya ialah menyeimbangkan antara pekerjaan dan keluarga.
"Saya punya tiga anak yang jarak usianya cukup dekat. Pada ketika itu, kondisi tersebut tak nampak menyerupai kendala tetapi ketika saya kembali bekerja sehabis melahirkan mereka, lantas itu menjadi problem yang sangat besar," kata Dr Nikola.
"Banyak hal yang menjadi gangguan karir ialah waktu yang Anda habiskan untuk cuti dikurangi dari jumlah tahun pasca PhD dan hasil yang Anda raih. Itu tak mudah," lanjutnya.
Dr Nikola mengatakan, lembaga tersebut juga mendapat banyak masukan dari peneliti muda laki-laki yang ingin mempunyai lebih banyak kehidupan keluarga: "Tapi cuti hanya dilihat sebagai bunuh diri karir bagi mereka. Kaprikornus kami ingin membuatnya lebih setara untuk kedua kaum."
Ia melihat banyak manfaat yang diambil peneliti Australia alasannya ialah bekerja lebih erat dengan rekan-rekan mereka di Indonesia.
"Penduduk Indonesia sepuluh kali lebih banyak sehingga studi mempunyai kekuatan lebih dan mempunyai lebih banyak hasil dan imbas bila Anda benar-benar berkolaborasi dan bekerja dengan tim di Indonesia," utaranya.
Ia mengungkapkan, "Saya benar-benar merasa bahagia ketika ini alasannya ialah saya telah melihat bagaimana antusiasnya kelompok kami dan rekan-rekan kami di Indonesia."
sumber: news.detik.com"Selalu ada kelompok-kelompok bersemangat yang akan mendorong dan terus mendorong untuk memastikan kami mengamalkan sains dengan baik di Australia dan Indonesia," sebut Dr Nikola.
EmoticonEmoticon