Sumber-Sumber Aturan Islam (Al-Quran, Hadis, Dan Ijtihad) | Kedudukan Ketiganya Dalam Aturan Islam

Sumber aturan islam yaitu sesuatu yang menjadikan suatu aturan yang mengikat dan menjadi sumber tumpuan apabila mendapati suatu kendala dalam memecahkan kasus bagi umat islam. Sumber aturan islam terdapat tiga hal yaitu, Al-Qur'an, Hadits, dan Ijtihad. Al-Qur’an merupakan sumber utama dalam aturan Islam. Dengan demikian, segala ketentuan aturan harus merujuk pada kitab suci tersebut. Untuk mengetahui tuntunan salat misalnya, kita terlebih dahulu perlu mengacu klarifikasi dalam Al-Qur’an. Di sana banyak ayat yang menyatakan, ”tunaikanlah salat”. Untuk memahami lebih lanjut, kita perlu mencari klarifikasi dalam hadis. Selanjutnya, kita perlu memilih hukumnya dengan memakai pemberian ilmu fikih sehingga diketahui salat itu hukumnya harus dikerjakan (wajib), diperbolehkan (mubah), dianjurkan (sunah) atau hukum-hukum yang lain.
Untuk lebih jelasnya mari kita simak bersama klarifikasi di bawah ini:
1. Al-Qur'an Sebagai Sumber Hukum Islam Pertama
    Al-Qur’an merupakan kitab suci sekaligus menjadi sumber utama dalam penetapan hukum. Dengan demikian, semua ketentuan aturan yang berlaku dilarang bertentangan dengan aturan-aturan yang termuat dalam Al-Qur’an.
 yaitu sesuatu yang menjadikan suatu aturan yang mengikat dan menjadi sumber tumpuan apa Sumber-Sumber Hukum Islam (Al-Quran, Hadis, dan Ijtihad) | Kedudukan Ketiganya Dalam Hukum Islam
Pengertian Al-Qur’an
    Al-Qur’an yaitu wahyu Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad melalui mediator Malaikat Jibril. Kitab ini diturunkan secara berangsur-angsur sebagai petunjuk dan pedoman bagi seluruh umat manusia. Ketentuan ini sebagaimana dijelaskan pada ayat berikut.
 yaitu sesuatu yang menjadikan suatu aturan yang mengikat dan menjadi sumber tumpuan apa Sumber-Sumber Hukum Islam (Al-Quran, Hadis, dan Ijtihad) | Kedudukan Ketiganya Dalam Hukum Islam
Artinya: Mahasuci Allah yang telah menurunkan Furqan (Al-Qur’an) kepada hamba-Nya (Muhammad) biar ia menjadi pemberi peringatan bagi seluruh alam (jin dan manusia). (Q.S. al-Furqan [25]: 1)
Al-Qur’an juga merupakan kitab suci Allah yang terakhir. Setelah kitab suci Al-Qur’an tidak ada kitab suci lain yang boleh dijadikan sebagai pedoman hidup. Dalam Al-Qur’an memuat tiga pembahasan pokok, yaitu kepercayaan (keimanan), ibadah mahdah, dan muamalah.
Kedudukan Al-Qur’an
    Al-Qur’an mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam kehidupan manusia, contohnya sebagai berikut.
1) Wahyu Allah Swt.
    Segala ketentuan yang terdapat dalam Al-Qur’an murni merupakan firman dari Allah yang disampaikan kepada Nabi Muhammad saw. melalui Malaikat Jibril. Oleh lantaran merupakan firman Allah, Al-Qur’an mempunyai kedudukan yang utama dan harus dijadikan pijakan insan dalam menjalani hidup.
2) Pedoman Hidup
    Sebagai kitab suci, Al-Qur’an harus menjadi pedoman hidup insan untuk meraih keselamatan dan kebahagiaan. Orang yang berpedoman pada Al-Qur’an termasuk golongan orang yang bertakwa dan akan mendapat kebahagiaan di dunia dan akhirat.
3) Mukjizat Nabi Muhammad saw.
    Oleh lantaran kedudukannya sebagai mukjizat Nabi Muhammad, Al-Qur’an mempunyai keistimewaan yang tiada banding. Contohnya kitab suci ini merupakan wahyu Allah yang paling tepat dan menyempurnakan kitab-kitab sebelumnya. Seluruh isi Al-Qur’an memperlihatkan kebenaran. Dengan keistimewaan ini, Al-Qur’an harus menjadi pedoman insan dari semenjak diturunkan hingga selesai zaman.
Al-Qur’an sebagai Sumber Hukum Islam
    Kedudukan Al-Qur’an sebagai sumber dari segala sumber aturan agama berarti menjadikan Al-Qur’an sebagai sumber pokok dan dalil pertama untuk memilih suatu hukum. Dengan demikian, jikalau terjadi suatu kasus atau persoalan, tumpuan pertama yaitu pada aturan Al-Qur’an. Kedudukan Al-Qur’an sangat utama dalam aturan Islam lantaran eksklusif diturunkan dari Allah Swt. Oleh lantaran itu, di dalamnya memuat jawaban segala persoalan, baik yang menyangkut korelasi antara insan dengan Allah (hablun minallah) maupun antarsesama insan (hablun minannas). Di dalamnya juga memuat gosip perihal alam gaib, menyerupai akhirat, surga, dan neraka.
    Al-Qur’an merupakan sumber aturan yang sangat lengkap. Dalam beberapa hal menyerupai warisan, pembahasan diuraikan secara terperinci. Dalam hal lain Al-Qur’an hanya memberi klarifikasi secara global. Oleh lantaran itu, perlu klarifikasi pendukung, yaitu dengan hadis Rasulullah saw. (Satria Effendi dan M. Zein. 2005. Halaman 92)

2. Hadis Sebagai Sumber Hukum Islam Kedua
   Hadis yaitu segala perkataan, perbuatan, dan taqrir yang dilakukan oleh Nabi Muhammad. Sebagai seorang rasul, Nabi Muhammad saw. yaitu teladan bagi setiap muslim sehingga semua perintah dan ajarannya harus kita ikuti. Mengikuti Rasulullah juga merupakan kewajiban bagi setiap muslim lantaran salah satu bukti ketakwaan kita kepada Allah yaitu mau mengikuti perintah Rasulullah saw. Dengan demikian, kedudukan hadis bagi umat Islam juga sangat penting.
 yaitu sesuatu yang menjadikan suatu aturan yang mengikat dan menjadi sumber tumpuan apa Sumber-Sumber Hukum Islam (Al-Quran, Hadis, dan Ijtihad) | Kedudukan Ketiganya Dalam Hukum Islam
Derajat / Tingkatan-Tingkatan Hadis
    Dalam ilmu hadis, hadis dibagi menjadi beberapa macam. Sebagai pengenalan, kita akan membahas bentuk hadis berdasarkan nilainya. Jika hadis dilihat dari segi nilainya sanggup dibedakan menjadi hadis sahih, hasan, dan da’if.
1) Hadis Sahih
    Disebut hadis sahih jikalau memenuhi syarat; sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh rawi yang adil, dan matannya tidak mengandung kejanggalan-kejanggalan.
2) Hadis Hasan
    Hadis hasan yaitu hadis yang sanadnya bersambung dan diriwayatkan oleh rawi yang adil, tetapi tidak sempurna, meskipun matannya tidak mengandung kejanggalan.
3) Hadis Da‘if
    Hadis da’if derajatnya paling rendah, di bawah sahih dan hasan. Suatu hadis dianggap mempunyai kedudukan da'if lantaran banyak sebab. Misalnya lantaran matan (isi) hadis tersebut ada yang cacat, perawinya tidak bersambung, dan kelemahan-kelemahan lainnya.
Kedudukan Hadis dalam Hukum Islam
    Hadis merupakan sumber aturan kedua sehabis Al-Qur’an. Dengan demikian, hadis mempunyai fungsi yang sangat penting dalam aturan Islam. Di antara fungsi hadis, yaitu untuk menegaskan ketentuan yang telah ada dalam Al-Qur’an. Oleh lantaran itu, ada ketentuan-ketentuan aturan yang telah tercantum dalam Al-Qur’an yang dipertegas kembali dalam hadis. Fungsi lainnya yaitu untuk menjelaskan ketentuan yang telah ada dalam Al-Qur’an. Ketentuan aturan dalam Al-Qur’an kadang masih bersifat umum sehingga butuh klarifikasi yang lebih khusus.
    Contohnya fungsi hadis yang menjelaskan ketentuan perihal waktu salat, jumlah rakaatnya, dan doa-doanya. Jika dalam Al-Qur’an ketentuan-ketentuan tersebut tidak dijelaskan secara terperinci. Meskipun suatu aturan kadang tidak dijelaskan dalam Al-Qur’an, jikalau dalam hadis disebutkan aturan tertentu, kita pun harus mematuhinya. Contohnya, dalam ayat-ayat Al-Qur’an sedikit dijelaskan perihal salat-salat sunah. Akan tetapi, Rasulullah memerintahkan dan memberi teladan kepada kita untuk mengerjakan beberapa macam salat sunah, kita pun harus mematuhinya. (Satria Effendi dan M. Zein. 2005. 124)

3. Ijtihad sebagai Sumber Hukum Islam Ketiga
Pengertian Ijtihad
    Setelah Al-Qur’an dan hadis sebagai tumpuan penetapan hukum, sumber aturan yang ketiga yaitu ijtihad. Ijtihad berasal dari kata ijtahada yang artinya bersungguh-sungguh atau mencurahkan segala kemampuan. Ijtihad dilakukan dengan mencurahkan kemampuan untuk mendapat syara’ atau ketentuan aturan yang bersifat operasional dengan mengambil kesimpulan dari prinsip dan aturan yang telah ada dalam Al-Qur’an dan sunah Nabi Muhammad saw. 
    Dalil yang menegaskan kedudukan ijtihad sebagaimana dijelaskan dalam hadis yang artinya, ”Dari Mu‘az, tolong-menolong Nabi Muhammad saw., ketika mengutusnya ke Yaman bersabda sebagai berikut. ”Bagaimana pendapat engkau jikalau suatu kasus diajukan kepadamu bagaimana engkau memutuskannya?” Mu’az menjawab, ”Saya akan menetapkan berdasarkan kitabullah (Al-Qur’an).” Selanjutnya Nabi saw. bertanya, ”Dan jikalau di dalam kitabullah, engkau tidak menemukan sesuatu mengenai soal itu?” ”Jika begitu saya akan menetapkan berdasarkan sunah Rasulullah,” jawab Mu’az. Nabi saw. bertanya kembali, ”Dan jikalau engkau tidak menemukan sesuatu mengenai hal itu di dalam sunah Rasulullah?” Jawab Mu‘az, ”Saya akan berijtihad mempergunakan pertimbangan kecerdikan pikiran sendiri (ajtahidu ra’yi) tanpa bimbang sedikit pun.” Selanjutnya Nabi saw. (sambil menepuk dada Muaz) berkata, ”Mahasuci Allah yang memperlihatkan bimbingan kepada utusan rasul-Nya dengan satu perilaku yang disetujui rasul-Nya.” (H.R. Abu-Daud dan Tirmizi)
    Hadis dari Mu‘az bin Jabal di atas menjelaskan bahwa Al-Qur’an merupakan tumpuan sumber dari segala sumber aturan Islam. Demikian juga halnya dengan hadis Rasulullah. Jika pada kedua sumber tersebut tidak ditemukan ketentuan aturan secara konkret, kita boleh berijtihad dengan penalaran kita. Para ulama juga beropini bahwa hasil ijtihad sanggup dipakai dan dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari. (Satria Effendi dan M. Zein. 2005. Halaman 246)
Mujtahid dan Syarat-syaratnya
    Kedudukan ijtihad sangat penting dan diperlukan. Oleh lantaran pentingnya, dalam hadis Rasulullah dijelaskan bahwa jikalau hasil ijtihad seseorang benar akan mendapat jawaban dua pahala, sebaliknya jikalau keliru tetap mendapat pahala satu. Dengan demikian, berijtihad sangat penting kita lakukan untuk menetapkan ketentuan hukum. Tidak benar pendapat yang menyatakan bahwa pintu ijtihad telah tertutup. Sebaliknya, umat Islam dianjurkan untuk berijtihad. Ijtihad harus dilakukan oleh orang-orang yang memenuhi syarat-syarat tertentu. Yusuf Qardawi dalam bukunya Al-Ijtihad fiasy-Syari‘ah al-Islamiyyah menyampaikan bahwa ada delapan hal yang menjadi syarat pokok untuk menjadi mujtahid. Kedelapan hal itu sebagai berikut.
1) memahami Al-Qur’an dengan bermacam-macam ilmu tentangnya;
2) memahami hadis dengan aneka macam ilmu tentangnya;
3) mempunyai pengetahuan yang mendalam perihal bahasa Arab;
4) mengetahui tempat-tempat ijmak;
5) mengetahui undangan fikih;
6) mengetahui maksud-maksud syariat;
7) memahami masyarakat dan susila istiadatnya; serta
8) bersifat adil dan takwa.
    Selain delapan syarat tersebut, beberapa ulama menambah tiga syarat lainnya, yaitu:
1) mendalami ilmu us.uluddin (pokok-pokok agama);
2) memahami ilmu mantiq (logika); dan
3) menguasai cabang-cabang fikih.
 yaitu sesuatu yang menjadikan suatu aturan yang mengikat dan menjadi sumber tumpuan apa Sumber-Sumber Hukum Islam (Al-Quran, Hadis, dan Ijtihad) | Kedudukan Ketiganya Dalam Hukum Islam
Kedudukan Ijtihad dalam Hukum Islam
    Kita telah sepakat bahwa Al-Qur’an dan hadis merupakan sumber pokok aturan Islam. Ijtihad untuk memilih aturan dibenarkan dengan tujuan kemaslahatan untuk menjawab setiap kasus yang terjadi. Dengan demikian, aturan Islam secara dinamis bisa mengantisipasi tuntutan perubahan zaman. Ijtihad ini sanggup dilakukan dengan bermacam-macam cara, contohnya qiyas, istihsan, dan urf. Dalam melaksanakan ijtihad terhadap suatu kasus yang sama, kadang ulama yang satu memakai cara pendekatan yang berbeda dengan ulama yang lain. Oleh lantaran memakai cara pendekatan yang berbeda, hasil ijtihad tidak tertutup kemungkinan untuk berbeda. Akan tetapi, perbedaan pendapat yang terjadi merupakan rahmat yang tidak perlu diperselisihkan.
    Dengan dilakukannya ijtihad mengandung beberapa manfaat yang sangat penting. Dengan ijtihad aturan Islam semakin dinamis lantaran sanggup menjawab kasus yang terjadi pada masa-masa tertentu. Selain itu, dengan dibolehkannya ijtihad akan melatih para ulama untuk berpikir kritis dan mau menggali lebih dalam ajaran-ajaran Al-Qur’an. Pada ketika ini ijtihad tumbuh subur di dunia, khususnya di negara yang lebih banyak didominasi penduduknya beragama Islam. Ijtihad dilakukan oleh para ulama, baik secara kolektif yang tergabung dalam forum atau organisasi tertentu serta secara pribadi.

Hukum Ijtihad
    Ulama fikih membagi aturan ijtihad menjadi tiga macam. Hukum-hukum tersebut berkaitan dengan ketika ijtihad tersebut disampaikan.
Pertama, ijtihad itu fardu ‘ain, yaitu harus dilakukan oleh setiap muslim. Hal ini terjadi jikalau seseorang berada dalam suatu keadaan atau kasus dan ia harus memilih sikap, sementara tidak ada orang lain di sana.
Kedua, ijtihad itu fardu kifayah, yaitu jikalau ada suatu kasus dan pada ketika yang sama ada para ulama yang bisa melaksanakan ijtihad. Oleh lantaran itu, hanya mereka yang telah bisa yang dibolehkan melaksanakan ijtihad.
Ketiga, ijtihad itu mandub atau sunah, jikalau terdapat kasus yang masih gres dan masih bersifat wacana atau belum terjadi. Saat itu, ijtihad tidak harus dilakukan, walaupun jikalau dilakukan tetap diperbolehkan sebagai langkah antisipasi kemungkinan pada masa depan.


EmoticonEmoticon