Masuknya islam ke Indonesia mempunyai sejarah yang panjang, mempunyai imbas yang besar dalam kehidupan di Nusantara. Indonesia bukanlah tanah yang akrab dengan tanah Arab kawasan agama Islam diturunkan melalui Rasulullah Muhammad saw. Pembahasan perihal sejarah masuknya Islam di Nusantara mengarah pada kronologi Islam masuk di Indonesia dan jalur yang dipakai untuk masuk.
Teori Masuknya Islam ke Indonesia
Secara umum terdapat tiga teori masuknya Islam ke Indonesia atau Nusantara. Teori tersebut sebagai berikut.
1. Teori Gujarat
Menurut teori Gujarat, Islam masuk ke Indonesia melalui wilayah-wilayah di anak Benua India menyerupai Gujarat, Bengali, dan Malabar. Pendapat ini didasarkan pada temuan nisan-nisan kuburan di beberapa wilayah di Indonesia yang dibentuk dan dibawa pribadi dari Kota Gujarat. Pendapat perihal masuknya Islam dari Gujarat, India didasarkan pada corak aliran Islam yang berkembang di Nusantara pada awalnya cenderung mempunyai warna tasawuf yang kental. Hal ini menyerupai dengan tradisi tasawuf yang berkembang di India. Seperti diketahui bahwa sesudah masa hancurnya Kesultanan Abbasiyah di Bagdad, umat Islam menekuni jalan tasawuf. Utamanya di tanah India. Islam berkembang di tanah India dengan Kerajaan Mugal dan Kerajaan Deccan. Kedua kerajaan ini menjadi beberapa di antara sentra Islam Asia Tengah dan Asia Tenggara. Pengaruh kedua kerajaan tersebut juga terdengar hingga wilayah Nusantara.
Salah satu pendukung utama teori masuknya islam yang ini ialah Snouck Hurgronje. Ia seorang ilmuwan Belanda yang diperintahkan untuk berguru agama Islam dan mencari kelemahan umat Islam di Nusantara khususnya umat Islam di Aceh. Dalam melaksanakan tugasnya, Snouck banyak mengeluarkan kesesatan yang bertujuan melemahkan mental dan aliran Islam yang dipahami oleh umat Islam.
2. Teori Persia
Teori kedua masuknya Islam ke Indonesia ialah bahwa Islam masuk melalui Persia. Hal ini terjadi pada era XII. Dasar pendapat ini ialah maraknya paham syiah pada awal-awal masuknya Islam di Nusantara. Paham syiah berkembang sangat luas dalam masyarakat Persia. Hal tersebut tidak lepas dari hadirnya salah satu istri Ali bin Abi Talib yang berasal dari Persia. Keadaan ini menciptakan masyarakat Persia merasa senasib dengan saudara mereka, yaitu keluarga Ali yang diburu oleh pemerintahan Muawiyah. Maraknya Syiah di wilayah Nusantara terlihat dari tradisi upacara menyerupai mengarak Tabut di Jambi yang dilambangkan dengan
mengarak jasad Husein bin Ali yang terbunuh dalam kejadian Karbala. Kuatnya tradisi Syiah bahkan masih terasa hingga ketika ini.
Dasar kedua ialah adanya suku Leran dan Jawi di Persia. Suku-suku ini disinyalir merujuk pada orang-orang Leran dari Gresik dan suku Jawa. Suku yang disebut terakhir dikenal dengan tradisi penulisan Arab Jawa atau Arab Pegon yang ditengarai sebagai cara penulisan adopsi sebagaimana adopsi yang dilakukan oleh masyarakat Persia atas goresan pena Arab. Hal ini diperkuat dengan aneka macam istilah menyerupai istilah jer yang lazim dipakai oleh masyarakat Persia.
3. Teori Arab
Teori yang ketiga ialah teori Arab. Berdasarkan teori Arab, Islam di Nusantara bukan berasal dari Gujarat India atau Persia melainkan pribadi dari Arab, yaitu Mekah dan Madinah pada era VII Masehi. Seperti diketahui bahwa jalur perdagangan dunia telah ada jauh sebelum masa kelahiran agama Islam. Pada masa itu perdagangan antara bangsa Arab dengan orang-orang dari Asia Timur menyerupai Cina dan Nusantara telah usang berjalan. Dengan demikian, kontak antara para pedagang Nusantara dan Arab sangat mungkin terjadi.
Menurut teori Arab, Islam tiba ke Indonesia pada masa Khulafaur Rasyidin atau bahkan pada masa nabi. Hal ini terlihat dari adanya hubungan dagang yang intensif antara Arab dan Nusantara. Bukti dokumentasi yang tercatat ialah dokumen dari Cina yang ditulis oleh Chu-fanchi mengutip catatan spesialis geografi, Chou Ku-fei. Dia menyatakan adanya pelayaran dari wilayah Ta-Shih yang berjarak lima hari perjalanan ke Jawa. Ta-Shih ialah sebutan orang-orang Cina untuk orang Arab. Wilayah Ta-Shih yang dimaksud di sini tentu bukan wilayah Arab di Timur Tengah yang makan waktu jauh lebih panjang untuk berlayar. Wilayah Ta-Shih yang tercantum dalam dokumen tersebut ialah komunitas Arab yang berada di pelabuhan kecil yang dikenal sebagai Bandar Khalifah di Pantai Barus, Sumatra Barat.
Keberadaan komunitas muslim Arab di Pantai Barus tercatat dalam dokumen kuno Cina bahwa sekitar tahun 625 Masehi telah ada perkampungan Arab Islam di pesisir Sumatra. Menilik angka tahun tersebut berarti hanya sembilan tahun dari ketika Rasulullah saw. memproklamasikan dakwah Islam secara terbuka pada penduduk Mekah, beberapa sobat telah berlayar dan membentuk perkampungan Islam di Sumatra. Hal inilah yang mengakibatkan sejarawan Ahmad Mansyur Suryanegara sangat yakin bahwa Islam telah masuk ke Nusantara ketika Rasulullah saw. masih hidup di Mekah dan Madinah.
Bukti lain dari masuknya Islam pada era VII ialah ditemukannya makam kuno di kompleks pemakaman Mahligai, Barus yang pada kerikil nisannya tertulis nama Syekh Rukunuddin yang wafat pada
tahun 672 Masehi. Sebuah tim arkeologi dari Prancis, yaitu tim dari Ecolo Francaise d’Extreme-Orient (EFEO) bekerja sama dengan Pusat Penelitian Arkeologi Nasional di Lobu Tua-Barus menemukan bahwa
sekitar era IX–XII Masehi, Barus telah menjadi sebuah wilayah sentra pelabuhan yang didiami oleh pemukim dari aneka macam suku bangsa menyerupai Arab, Aceh, Cina, Tamil, Jawa, Bugis, dan Bengkulu.
Bukti tersebut diperkuat dengan munculnya kerajaan Islam pertama di Nusantara, yaitu Kerajaan Perlak atau Peureula sekitar era IX Masehi. Kerajaan inilah yang pertama kali berbagi agama Islam di Sumatra hingga bermetamorfosis Kerajaan Samudera Pasai. Selain itu, juga hingga ke Jawa dengan adanya makam Fatimah binti Maimun berangka tahun 1082 Masehi. Adanya sebuah kerajaan Islam Perlak pada era IX menunjukan masuknya Islam pada masa jauh sebelum itu.
Di antara ketiga teori ini, teori Arablah yang ketika ini diterima oleh para jago sejarah. Meskipun demikian, bukan berarti masuknya Islam ke Indonesia hanya berasal dari tanah Arab. Kaum muslimin dari wilayah
lain yang juga telah memeluk agama Islam juga ikut berperan semisal para pedagang dari Gujarat atau Persia meskipun tiba kemudian.
Jalur Masuknya Islam di Nusantara
Jlur masuknya Islam dalam hal ini ialah jalan kegiatan yang dipakai oleh kaum muslimin untuk berbagi Islam di Nusantara. Secara umum terdapat tiga jalur utama penyebaran Islam
di Nusantara, yaitu jalur perdagangan, pendidikan, dan hubungan sosial budaya.
1. Masuknya Islam Melalui Jalur Perdagangan
Salah satu jalur masuknya Islam ke Indonesia ialah melalui kontak perdagangan. Para pedagang yang berasal dari Arab dan wilayah lain yang telah lebih dahulu memeluk agama Islam bekerjasama dengan para pedagang Nusantara. Hubungan dagang ini tidak jarang menjadi jalan untuk penyebaran agama Islam di
Nusantara. Saat berinteraksi dagang, para pedagang muslim menyisipkan aliran Islam. Dengan cara ini tidak sedikit para pedagang Nusantara yang selanjutnya beralih memeluk agama Islam. Salah satu kawasan yang menjadi pelabuhan utama bagi masuknya Islam ialah pelabuhan bandar khalifah yang terletak di Pantai Barus, Sumatra Barat. Oleh alasannya ialah itu, wilayah Sumatra Barat dan Aceh menjadi pintu masuk Islam ke Nusantara hingga dikenal sebagai Serambi Mekah. Di pelabuhan-pelabuhan Sumatra para pedagang dari Cina, Arab, maupun wilayah lain berdatangan membawa komoditas masing-masing. Tidak jarang mereka menetap dalam waktu yang relatif usang sambil menunggu perubahan angin yang membawa mereka pulang ke kawasan asal. Selama menunggu itulah para pedagang berinteraksi dengan warga pribumi. Ajakan dakwah pun mengalir di sela-sela perbincangan bisnis.
Ajakan dakwah Islam pun diterima dengan baik oleh para pedagang Nusantara. Para pedagang yang umumnya ialah para ningrat kerajaan yang relatif berilmu bisa menyerap keindahan Islam dan mendapatkan Islam sebagai jalan hidupnya. Meskipun demikian, ada pula pedagang yang menolak Islam karena
merasa tidak cocok dengan aliran persamaan derajat di kalangan insan yang ada dalam Islam.
2. Masuknya Islam Melalui Jalur Pendidikan
Jalur lain yang sangat penting dalam sejarah masuknya Islam ke Indonesia melalui jalur pendidikan. Jalur ini terbentuk melalui para juru dakwah yang sengaja menyebar ke wilayah yang gres untuk berbagi Islam. Para dai berkelana menuju wilayah yang sama sekali gres dengan dipandu oleh para pedagang yang mengembara mengikuti dagangan mereka. Para dai tersebut bukanlah para pedagang, melainkan mereka yang memang mengkhususkan diri untuk berdakwah. Kedatangan para dai ini mengakibatkan gerak dakwah di Nusantara semakin marak. Jika pada awalnya dakwah Islam hanya terbatas di pantai-pantai barat Sumatra, dengan adanya para dai ini gerak dakwah berkembang meluas hingga pulau-pulau di bab timur Indonesia. Pulau Jawa yang dihuni oleh aneka macam kerajaan menjadi ujung tombak penyebaran Islam di wilayah Indonesia lainnya. Tidak hanya itu, para pelaut Bugis yang populer sebagai juru dakwah andal berbagi Islam hingga Kepulauan Maluku dan Papua bekerja sama dengan para penyebar Islam dari Gresik, Jawa Timur. Gerak dakwah para penyebar Islam ini memperoleh momentum yang sangat elok dengan munculnya para wali penyebar Islam. Dimulai dengan kedatangan ulama Hadramaut, Maulana Malik Ibrahim, dan Maulana Magribi dari Hadramaut ke tanah Jawa. Dari sini penyebaran Islam menyentuh seluruh kepulauan di Nusantara.
Pesantren mempunyai kiprah yang sangat penting dalam penyebaran Islam di Nusantara.
3. Masuknya Islam Jalur Sosial Budaya
Jalur yang satu ini tidak kalah penting dalam upaya penyebaran Islam di Nusantara. Proses interaksi sosial antara pemeluk agama Islam dan kaum nonmuslim mengakibatkan mereka saling mengamati dan menilai. Hal ini mengakibatkan komunikasi yang terjadi pun semakin hangat dengan topik baru, yaitu seputar aliran agama Islam. Interaksi ini membuka wacana hubungan yang lebih akrab menyerupai hubungan persaudaraan dan pernikahan. Masuknya Islam dengan jalan ijab kabul memberi warna tersendiri dalam sejarah Islam Indonesia. Jadilah hubungan baik yang terjalin di antara para muslim pendatang dengan kaum pribumi diteruskan dengan perkawinan antara perempuan pribumi dengan pedagang Islam. Melalui perkawinan ini lahirlah generasi gres muslim.
Dengan demikian, bertahap terbentuk komunitas muslim di kalangan warga pribumi. Beberapa di antara teladan ijab kabul ulama Islam dengan perempuan pribumi ialah perkawinan Raden Rahmat atau Sunan Ampel dengan Nyai Ageng Manila, perkawinan Sunan Gunung Jati dengan Putri Kawunganten, serta perkawinan Raja Brawijaya yang beragama Hindu dengan Putri Jeumpa yang beragama Islam kemudian menurunkan Raden Patah yang kelak menjadi raja pertama kerajaan Islam Demak.
Tidak kalah penting dalam penyebaran Islam ialah interaksi budaya yang terjadi antara budaya pribumi dengan Islam. Budaya pribumi yang diwarnai oleh agama Hindu dan Buddha serta kepercayaan animisme dan dinamisme bersentuhan dengan budaya Islam yang bercorak tauhid kepada Allah. Budaya Islam yang
sederhana mengakibatkan rakyat yang masih sederhana dengan gampang mencerna dan mendapatkan muatan isi yang disampaikan. Dengan begitu, penduduk pedalaman kepulauan Nusantara sanggup mendapatkan Islam sehingga Islam menjadi agama lebih banyak didominasi di kalangan penduduk Nusantara. Dalam memakai budaya, para ulama tidak serta-merta mengubah budaya pribumi menjadi budaya Islam. Tradisi budaya yang ada di masyarakat dibiarkan terus berlanjut, tetapi disisipi dengan muatan dan aliran Islam. Dengan demikian, muatan tradisi yang dipandang mengandung aliran terlarang menyerupai syirik sanggup dihilangkan secara perlahan. Cara menyerupai ini terbukti ampuh untuk mendekati rakyat jelata hingga tertarik untuk masuk Islam.
Kontak komunikasi dan hubungan dagang antarnegara bekerjsama telah berkembang pesat jauh sebelum angka tahun Masehi dimulai. Peter Bellwood, seorang arkeolog dari Australia National University telah melaksanakan penelitian arkeologis di Polinesia dan Asia Tenggara. Bellwood menemukan bukti-bukti bahwa jauh sebelum era V Masehi, beberapa jalur utama perdagangan telah berkembang menghubungkan Nusantara dengan Cina. Hal ini terbukti dari temuan beberapa tembikar Cina serta barang-barang perunggu dari zaman Dinasti Han di Sumatra dan Jawa Timur. Dalam catatan kaki pada bukunya, Bellwood menulis, ”Museum Nasional di Jakarta mempunyai beberapa baskom keramik Cina dari aneka macam situs di Sumatra Utara. Selain itu, barang-barang perunggu Cina yang bertarikh final Dinasti Zhou atau sebelum tahun 221 sebelum Masehi ketika ini disimpan di London dan berasal dari kuburan di Lumajang, Jawa Timur. . . .” Temuan ini menjadi bukti bahwa pada masa sebelum Masehi hubungan Cina-Nusantara telah terjalin hingga pedalaman Nusantara. Lebih dari itu perdagangan dengan dunia Arab dan Timur Tengah telah berjalan dalam waktu yang jauh lebih lama. Sebuah peta kuna yang dibentuk oleh Claudius Ptolemius, seorang Gubernur Yunani di Alexandria Mesir pada era II Masehi menyebutkan bahwa di pesisir Sumatra terdapat sebuah bandar niaga berjulukan Borousai (Barus) yang dikenal dengan hasil wewangian dari kapur barus. Dalam catatan Ptolemius, kapur barus telah diekspor ke Mesir jauh sebelum masa ia berkuasa.Dari aneka macam artefak yang ada, diyakini bahwa salah satu materi yang dipakai untuk pembalseman para Raja Mesir menjadi mumi ialah kapur dari kayu kamper yang diimpor dari Barus. Bahkan, dari penelitian material balsam untuk mumi Ramses II yang hidup pada masa Nabi Musa, diperoleh petunjuk bahwa material kamper yang dipakai berasal dari material yang sama dengan yang dihasilkan di Barus. Hal ini menguatkan dugaan bahwa hubungan dagang antara pedagang Nusantara dan dunia luar telah terjalin dalam rentang waktu yang sangat lama.
EmoticonEmoticon