Pokok-Pokok Resensi Dan Rujukan Resensi Buku

Pokok-Pokok Resensi, asal kata resensi berasal dari bahasa Belanda resensie atau bahasa latin resenseo yang berarti ulasan atau uraian ihwal buku, film, drama, teater, ataupun kaset. Ulasan resensi bersifat informatif mengenai pertimbangan mutu, baik, atau jelek sebuah buku. Resensi buku bertujuan menawarkan rangsangan kepada pembaca biar membaca dan mempunyai buku tertentu. Di samping itu, resensi buku sanggup membantu penerbit atau pengarang untuk memperkenalkan buku yang gres diterbitkan.

     Agar bisa menulis resensi harus mengetahui pokok-pokok isi resensi. Pokok-pokok yang dijadikan target dalam meresensi buku sebagai berikut.
1. Identitas Buku
       Identitas buku mencakup judul, nama pengarang, nama penerbit, daerah dan tahun terbit, cetakan, serta tebal buku.
2. Pembuka Resensi
       Kegiatan menulis resensi sanggup dilakukan dengan mengutip paragraf dalam buku. Kutipan ini sebagai landasan berpikir. Penulis juga sanggup mengemukakan tema buku secara singkat yang dilengkapi dengan deskripsi isi buku dan memperkenalkan kepengarangan (nama, ketenaran, hasil karya, ataupun proses kreatifnya).
3. Macam atau Jenis Buku
       Penulis resensi memperlihatkan jenis buku yang diulas kepada pembaca. Dengan kata lain, ia harus mengklasifikasi buku itu dalam kelas atau kelompok buku tertentu, contohnya fiksi dan nonfiksi.
4. Keunggulan Buku
       Penulis resensi mengemukakan segi-segi menarik dari buku tersebut. Penulis sanggup menguraikan hal-hal berikut.
a. Organisasi Buku
    Organisasi buku mencakup kerangka buku, relasi antara satu pecahan dengan pecahan yang lain. Jadi, ada kepaduan, kejelasan, dan memperlihatkan perkembangan yang logis.
b. Isi Buku
    Isi buku menyangkut paparan dan rincian buku, serta adanya kesimpulan umum. Buku dikatakan berkualitas kalau organisasi dan tema terangkai padu, baik, dan benar.
c. Bahasa
    Penggunaan bahasa yang baik sanggup dinilai dari segi struktur kalimat, relasi antarkalimat, dan diksi atau pilihan kata. Selain itu, perlu pembedaan antara penggunaan bahasa untuk buku ilmiah dan buku fiksi sastra. Bahasa dalam buku ilmiah bersifat denotatif, satu penafsiran, sedangkan bahasa fiksi sastra bersifat konotatif untuk berbagi daya imajinasi.

Perhatikan teladan resensi buku berikut ini!
Estetika Kefasihan Pengarang Bercerita
Judul Buku   : Potongan Cerita di Kartu Pos
Pengarang    : Agus Noor
Penerbit        : Penerbit Buku Kompas
Cetakan        : I, September 2006
Tebal Buku   : vi + 173 Halaman

       Kembali dunia sastra Indonesia digairahkan oleh penerbitan buku kumpulan cerpen berjudul Potongan Cerita di Kartu Pos karya Agus Noor. Bagi yang jeli mengamati proses kreatif Agus Noor sepanjang kepengarangannya pastilah bakalan bersepaham bahwa kumpulan cerpen ini ialah buku kelima yang dihasilkannya, sehabis sebelumnya ia menerbitkan buku kumpulan cerpen yang berjudul Memorabilia (1999), Bapak Presiden yang Terhormat (2000), Selingkuh Itu Indah (2001), dan Rendezvous: Kisah Cinta yang Tak Setia (2004).
       Sedikit berbeda dengan buku-buku kumpulan cerpen yang sebelumnya dihasilkan, di dalam buku ini Agus Noor terlihat lebih matang dalam bereksperimen. Baik dari sisi spesifikasi tema–karena ada cerpen yang hanya berbicara soal kupu-kupu–maupun alur penceritaan. Lihat saja pada cerpen yang berjudul Puzzle Kematian Girindra, misalnya. Cerpen ini dibagi dalam beberapa bagian, berkisah ihwal misteri selesai hidup tokoh Girindra. Cerita berkelindan pada sejumlah kemungkinan penyebab selesai hidup Girindra.
      Juga pada tokoh-tokoh yang terlibat sepanjang kehidupan Girindra. Yang menarik ialah teknik
penceritaan yang memang menyerupai permainan puzzle. Jadi, pembaca yang telah mengikuti alur dongeng hingga pecahan lima, misalnya, harus membaca pecahan pertama lagi alasannya ada petunjuk teknis dari pengarang bahwa penyebab atau alasan tertentu memang hanya bisa dirujuk di pecahan pertama.
Teknik penceritaan yang tak lazim semacam ini, terperinci menuntut kejelian dan ketangkasan penguasaan
alur. Saya kira sebagai pengarang, Agus Noor telah berhasil membangun irama keterkejutan kepada pembaca: teknik penceritaan yang dipaparkannya berhasil mengguncang-guncang ketegangan.
       Teknik penceritaan menarik lainnya ada pada cerpen yang berjudul Potongan-Potongan Cerita di
Kartu Pos. Cerpen ini menceritakan bahwa seorang tokoh telah mendapat beberapa kiriman kartu pos. Seorang tokoh tersebut mendapat kartu-kartu pos yang ternyata bersambung. Setiap kartu pos memuat potongan dongeng yang akan dilanjutkan pada kartu pos berikutnya. Dari segi teknik penceritaan bisa disebut sebagai model dongeng berbingkai dengan media berupa kartu pos.
       Hal yang perlu dikritisi ialah terlepas dari keberhasilan upaya pembangunan teknik penceritaan
yang mengedepankan aspek alur, Agus Noor telah menggiring paradigma pembaca bahwa celah-celah pengembangan estetika sungguh tak terbatas. Di situlah esensi kehadiran kreator bakal teruji, apakah seorang pengarang memang akan berperan sebagai pengisah yang piawai atau cuma melanjutkan klise bahwa kerja mengarang telanjur terjebak pada gaya-gaya tertentu yang seperti menjadi pakem, baik realis, surealis, absurd, maupun yang lainnya tanpa ada kebaruan apa
pun, contohnya dari sisi teknik penceritaan.
      Bagi saya, alternatif teknik penceritaan yang dikembangkan Agus Noor, dengan menyentuh ”khasanah puzzle” dan dongeng berbingkai, telah mengonkretkan kredonya sendiri bahwa sebaiknya
cerpen-cerpen yang ada di dalam buku mengemban konsekuensi eksperimentasi yang bermacam-macam dan luas. Ingat, Agus Noor ialah pengarang yang senantiasa menganjurkan keterbatasan ruang eksperimentasi cerpen di koran haruslah mendapat solusi. Ruparupanya, format buku menjadi pilihan memikat untuk berbagi eksperimentasi alasannya aspek keluasan halaman, keterbebasan dari risiko ”norma moral dan sosial”, dan sebagainya. Meskipun memang, tak semua cerpen Agus Noor yang ada di buku ini memuat aspek eksperimentasi, terutama dalam hal
teknik penceritaan dan kepanjangan halaman.
       Beberapa cerpen lainnya toh masih tetap ”berformat” koran, padahal kalau mau dikembangkan lagi juga bisa lebih memikat.
Membaca cerpen-cerpen Agus Noor di buku ini, bagi saya juga mengukuhkan pandangan bahwa ruangruang alternatif penjelajahan imajinasi memang sebaiknya senantiasa diciptakan. Kita tahu, banyak cerpenis Indonesia yang telanjur terjebak pada ”tematema dan teknik yang monoton”, katakanlah yang ”konvensional” dengan penggambaran deskripsi realisme warna lokal maupun sebagaimana estetika yang belakangan marak yang mengemban unsur-unsur seksisme sebagai wilayah ekspresi. Dengan kata lain, sesungguhnya banyak tema dan pendekatan teknik penceritaan yang berserak yang bisa dijumput dan digarap, di luar yang sudah umum dikerjakan oleh
sejumlah cerpenis lain.
      Dengan kata lain pula, bekerjsama sebuah cerpen memang bisa saja tak harus terbebani pesan moral atau apa pun, alasannya pretensinya yang hanya ingin bereksperimen itu sendiri. Resep estetik yang bisa dipraktikkan oleh para penulis cerpen lain sehabis membaca buku ini ialah soal penguasaan/kefasihan teknik bercerita yang sungguh-sungguh memegang peranan penting, sebelum tema dan varian lain yang menggelayuti badan sebuah cerpen terkuasai, untuksebuah hasil penciptaan secara sadar.  (Sumber: www.pontianakpost.com)


EmoticonEmoticon