Jenis tari daerah di wilayah budaya perbatasan akan berbeda dengan di wilayah budaya murni. Demikian juga dengan bentuk penampilan, busana, tata rias, aksesoris, dan tempat pementasan yang mempunyai banyak sekali perbedaan. Berikut ini uraiannya.
1. Tari di Wilayah Budaya Murni
Tari yang berasal dari wilayah budaya murni biasanya lebih mempunyai tingkat kemantapan yang tinggi. Tari pada wilayah tersebut telah mengalami perkembangan dan perubahan, tetapi sangat lambat sebab dilakukan dalam situasi yang hening dan penuh perhitungan. Tari yang berasal dari wilayah pedalaman, menyerupai tari Keraton (Surakarta, Yogyakarta, Cirebon, Klungkung, Sumenep, dan Lombok, dan sebagainya) dan tari Daerah Pedalaman (Papua Pedalaman, Dayak Kalimantan, Toraja-Sulawesi, Maluku-Pedalaman, dan sebagainya).
Tari yang hidup di wilayah budaya murni, baik berupa tari rakyat maupun tari tradisi, selalu di bawah perintah atau petunjuk raja, kepala suku, empu, seniman atau tokoh seni. Oleh sebab itu, setiap perubahan selalu berada di bawah imbas para pemimpin tersebut. Jika para pemimpin telah semakin bau tanah dan tidak lagi produktif untuk berpikir dan berkarya, maka tidak akan terjadi perubahan apa pun dalam dunia tari. Apalagi jikalau generasi muda bersikap tidak peduli terhadap perkembangan seni dan budaya, maka kesenian tersebut dengan cepat akan mengalami kepunahan.
2. Tari di Wilayah Budaya Perbatasan
Kehidupan tari di wilayah budaya perbatasan, rata-rata lebih dinamis dan terbuka mendapatkan setiap perubahan. Sifat dan teladan hidup masyarakat yang tinggal di pesisir pantai sehari-hari terbiasa begitu padat menghadapi kemudian lintas pendatang. Oleh sebab itu, rata-rata mereka menjadi berjiwa terbuka dan cepat tanggap terhadap setiap isu dan perubahan. Kehidupan semacam ini telah menghasilkan beberapa tari terkenal, menyerupai tari Lais Sintren dan tari Pakarena. (seni tari Atang dan Rama)
Tari yang berasal dari kawasan pesisir pantai biasanya telah menerima imbas dari para pendatang dari kawasan budaya lain atau penduduk orisinil yang merantau ke kawasan budaya lain. Misalnya, tari Seblang dari Banyuwangi mempunyai adonan budaya Jawa Timur dan Bali sebab imbas geografis (tempat) dan kepercayaan (religius-magis) antara pantai Banyuwangi dengan pantai Bali Selatan. Demikian pula yang tinggal di kawasan perbatasan pedalaman, kondisi wilayah persimpangan yang padat kemudian lalang pendatang dari luar, justru bisa merubah perilaku, membentuk tradisi, dan rasa estetis tersendiri. Tari yang berasal dari wilayah perbatasan, antara lain di kawasan Banyumas, Banyuwangi, Cilacap, dan Papua.
1. Tari di Wilayah Budaya Murni
Tari yang berasal dari wilayah budaya murni biasanya lebih mempunyai tingkat kemantapan yang tinggi. Tari pada wilayah tersebut telah mengalami perkembangan dan perubahan, tetapi sangat lambat sebab dilakukan dalam situasi yang hening dan penuh perhitungan. Tari yang berasal dari wilayah pedalaman, menyerupai tari Keraton (Surakarta, Yogyakarta, Cirebon, Klungkung, Sumenep, dan Lombok, dan sebagainya) dan tari Daerah Pedalaman (Papua Pedalaman, Dayak Kalimantan, Toraja-Sulawesi, Maluku-Pedalaman, dan sebagainya).
Tari yang hidup di wilayah budaya murni, baik berupa tari rakyat maupun tari tradisi, selalu di bawah perintah atau petunjuk raja, kepala suku, empu, seniman atau tokoh seni. Oleh sebab itu, setiap perubahan selalu berada di bawah imbas para pemimpin tersebut. Jika para pemimpin telah semakin bau tanah dan tidak lagi produktif untuk berpikir dan berkarya, maka tidak akan terjadi perubahan apa pun dalam dunia tari. Apalagi jikalau generasi muda bersikap tidak peduli terhadap perkembangan seni dan budaya, maka kesenian tersebut dengan cepat akan mengalami kepunahan.
2. Tari di Wilayah Budaya Perbatasan
Kehidupan tari di wilayah budaya perbatasan, rata-rata lebih dinamis dan terbuka mendapatkan setiap perubahan. Sifat dan teladan hidup masyarakat yang tinggal di pesisir pantai sehari-hari terbiasa begitu padat menghadapi kemudian lintas pendatang. Oleh sebab itu, rata-rata mereka menjadi berjiwa terbuka dan cepat tanggap terhadap setiap isu dan perubahan. Kehidupan semacam ini telah menghasilkan beberapa tari terkenal, menyerupai tari Lais Sintren dan tari Pakarena. (seni tari Atang dan Rama)
Tari yang berasal dari kawasan pesisir pantai biasanya telah menerima imbas dari para pendatang dari kawasan budaya lain atau penduduk orisinil yang merantau ke kawasan budaya lain. Misalnya, tari Seblang dari Banyuwangi mempunyai adonan budaya Jawa Timur dan Bali sebab imbas geografis (tempat) dan kepercayaan (religius-magis) antara pantai Banyuwangi dengan pantai Bali Selatan. Demikian pula yang tinggal di kawasan perbatasan pedalaman, kondisi wilayah persimpangan yang padat kemudian lalang pendatang dari luar, justru bisa merubah perilaku, membentuk tradisi, dan rasa estetis tersendiri. Tari yang berasal dari wilayah perbatasan, antara lain di kawasan Banyumas, Banyuwangi, Cilacap, dan Papua.
(Tari Topeng Cirebon)
Tari Lengger Banyumas mempunyai adonan rasa antara gerakan Sunda dan Jawa sebab Banyumas secara geografis terletak di antara keduanya. Tari Topeng Cirebon mempunyai adonan rasa antara Jawa dan Sunda sebab menerima imbas dari Jawa (ajaran para wali) dan Sunda (tari dan instrumennya). Meskipun sama-sama menerima imbas dari dua wilayah budaya dan geografis, tetapi rasa tari Lengger Banyumas dan tari Topeng Cirebon berbeda sama sekali. Hal tersebut dikarenakan masing-masing mempunyai adat, kebiasaan, kepercayaan, anggapan, rasa estetis (keindahan), dan tradisi yang berlaku bebuyutan selama berabad-abad.
EmoticonEmoticon