Salah satu rukun islam yaitu shalat, dan shalat merupakan ibadah yang paling utama, bahkan kalau shalat kita diterima secara otomatis ibadah kita yang lain InsyaAllah akan diterima Allah, tapi kalau shalat kita tidak diterima maka ibadah kita yang lain tidak akan diterima Allah, Naudzubillah, semoga kita selalu sanggup menjaga shalat dan mendapat rido Allah SWT.
Identitas seorang muslim tidak terlepas dari amaliyah ibadah shalat, lantaran shalat merupakan ciri yang membedakan antara langsung muslim dengan orang kafir.
Orang muslim yang Islamnya benar, pasti melaksanakan ibadah shalat penuh dengan kesungguhan dan kekhusyu’an seraya berjamaah.
Sedangkan bagi mereka yang Islamnya hanya ratifikasi saja, shalat hanya sekedar lambang atau harapan untuk mendapat pengakuan. Padahal, shalat bukanlah sekumpulan gerakan dan bacaan yang kosong dari makna dan tujuan, tetapi ia yaitu ibadah yang mengandung arti yang dalam dan berisi pelajaran yang berharga.
Shalat yang Khusyu’
Adapun cara untuk mengkhusyu’kan shalat antara lain; Ihsan, yaitu merasa diawasi Allah yang Maha Kuasa. Memahami makna bacaan Qur’an dan dzikir-dzikir yang dibaca dan menghayati kandungannya. Memanjangkan ruku’ dan sujudnya. Muhammad Al-Bahry berkata, “Di antara pekerjaan yang menghasilkan khusyu’ yaitu memanjangkan ruku’ dan sujudnya.”
Shalat Berjamaah
Terkait hal di atas, Prof. Dr. Hasbi Ash Shiddiqy setelah mengedepankan hadis-hadis wacana larangan “mencegah kaum perempuan pergi ke masjid” dan hadis yang menerangkan “kaum perempuan lebih utama shalat di masjid” berkomentar sebagai berikut;
Shalat yaitu kunci diterima atau tidaknya semua amal manusia. Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasallam bersabda: “Amal yang pertama kali dihisab dari amalan seorang hamba pada hari simpulan zaman yaitu shalatnya, maka kalau shalatnya baik, berbahagialah dia, dan kalau shalatnya rusak, rugilah dia dan sia-sialah usahanya.”
(HR. Thabrani)
(HR. Thabrani)
Imam Ahmad dalam sebuah pesan yang tersirat kepada putranya Abdullah pernah berkata; “Hai anakku, Nabi Shalallahu Alaihi Wasallam telah menegaskan: “Tidak ada keberuntungan sama sekali dalam Islam untuk orang yang meninggalkan shalat.”
Lebih lanjut Iman Ahmad berkata, Umar bin Khaththab pernah mengirim surat peringatan kepada semua wali negeri (gubernur), di dalamnya dia berkata: “Hai para wali, sebetulnya kiprah yang saya pandang paling penting yaitu shalat. Maka barangsiapa memelihara shalat, pasti dia telah memelihara agamanya.
Orang yang menyia-nyiakan shalat, maka ibadah lainnya pasti lebih dia sia-siakan. Tidak ada potongan apa-apa dalam Islam bagi orang yang meninggalkan shalat.” Karena itu, hai Abdullah, orang yang menyia-nyiakan shalat dan meremehkannya berarti ia menyia-nyiakan dan meremehkan Islam. Keberuntungan seorang hamba dalam Islam yaitu berdasarkan keberuntungan yang ia peroleh dalam shalat, kesenangan mereka kepada Islam, yaitu berdasarkan kesenangannya kepada shalat.”
Orang yang menyia-nyiakan shalat, maka ibadah lainnya pasti lebih dia sia-siakan. Tidak ada potongan apa-apa dalam Islam bagi orang yang meninggalkan shalat.” Karena itu, hai Abdullah, orang yang menyia-nyiakan shalat dan meremehkannya berarti ia menyia-nyiakan dan meremehkan Islam. Keberuntungan seorang hamba dalam Islam yaitu berdasarkan keberuntungan yang ia peroleh dalam shalat, kesenangan mereka kepada Islam, yaitu berdasarkan kesenangannya kepada shalat.”
Ingatlah akan dirimu hai Abdullah dan waspadalah, jangan hingga kau menjumpai Allah dalam keadaan tidak menghargai Islam. Kadar penghargaan yang diberikan seseorang kepada Islam yaitu sekedar harga shalat dalam jiwanya.”
Nasihat Imam Ahmad kepada anaknya di atas hakekatnya ditujukan kepada umat Islam umumnya. Bagaimana selaku orang beriman tidak menyia-nyiakan ibadah shalat yang juga sebagai ciri—rukun Islam—dari keberadaan kita sebagai muslim. Peringatan itu juga pertanda begitu tingginya kedudukan shalat dalam syariat Islam, oleh hasilnya tidak ada alasan bagi seorang muslim untuk tidak melaksanakan dan menjaganya dengan baik.
Di antara menjaga shalat yang baik yaitu melaksanakannya secara khusyu’ dan berjama’ah.
Shalat yang Khusyu’
Menurut kebanyakan ulama yang dimaksud dengan khusyu’ adalah, “Menundukkan menenangkan hati serta anggota tubuh kepada Allah Suhanahu Wa Ta’ala.”
Jadi, shalat seseorang sanggup dikatakan khusyu’ manakala selama shalat tersebut hati dan pikirannya senantiasa tertuju kepada Allah Ta’ala. Rasulullah Shalalahu Alaihi Wasallam bersabda: “Bahwasanya seorang hamba sungguh mengerjakan shalat, padahal tidak ditulis baginya kecuali setengahnya, sepertiganya, seperempatnya, seperlimanya hingga sepersepuluhnya. Sesungguhnya yang ditulis untuk seseorang dari shalatnya hanyalah sekedar yang sanggup ia pahami dari padanya.”
(HR. Ahmad dan Abu Daud dari Amar bin Yasir)
Adapun cara untuk mengkhusyu’kan shalat antara lain; Ihsan, yaitu merasa diawasi Allah yang Maha Kuasa. Memahami makna bacaan Qur’an dan dzikir-dzikir yang dibaca dan menghayati kandungannya. Memanjangkan ruku’ dan sujudnya. Muhammad Al-Bahry berkata, “Di antara pekerjaan yang menghasilkan khusyu’ yaitu memanjangkan ruku’ dan sujudnya.”
Jangan memain-mainkan anggota badan. Hendaknya memandang ketempat sujud walaupun bermata buta atau shalat di samping Ka’bah. Berupaya menjauhkan diri dari segala hal yang membimbangkan hati. Karena itu jangan shalat di atas tikar atau sajadah yang bergambar dan jangan shalat sambil menahan buang air besar atau kecil.
Dengan upaya-upaya di atas, diperlukan shalat yang dilaksanakan lebih mendekatkan kepada kekusyu’an dalam shalat. Sehingga ibadah shalat yang dikerjakan minimal lima kali dalam sehari ini tidak mengakibatkan kita orang-orang merugi.
Shalat Berjamaah
Begitu tinggi nilai yang Allah berikan kepada orang mukmin yang shalat dengan berjamaah, sehingga Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasallam pun bersabda: “Shalat berjama’ah itu lebih utama dari pada shalat sendirian sebanyak dua puluh tujuh derajat.”
(HR. Bukhari dan Muslim dari Ibnu Umar ra.)
Tak heran kalau Islam sangat menuntut supaya muslimin melaksanakan shalat bejamaah di setiap masjid. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman: “Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku’lah beserta orang-orang yang ruku’.”
(QS. Al-Baqarah: 34)
Menurut catatan kaki “Al-Qur’an dan terjemahnya” Departemen Agama RI, yang dimaksud dengan kalimat “ruku’lah bersama orang-orang yang ruku’ yaitu shalat berjamaah.
Pada ayat lain Allah berfirman, “Sesungguhnya yang memakmurkan masjid Allah hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, serta tetap mendirikan shalat, menunaikan zakat dan tidak takut kecuali kepada Allah. Maka merekalah orang-orang yang diperlukan termasuk orang yang mendapat petunjuk.”
(QS. At-taubah: 18)
Dari kedua firman Allah di atas, sanggup disimpulkan shalat berjama’ah itu wajib bagi setiap mukmin laki-laki, tidak ada dispensasi untuk meninggalkannya kecuali ada udzur (yang dibenarkan dalam agama).
Hadis-hadis yang merupakan dalil wacana aturan ini sangat banyak, di antaranya:
Hadis-hadis yang merupakan dalil wacana aturan ini sangat banyak, di antaranya:
Hadis shahih dari Abu Hurairah ra. Ia berkata, “Telah tiba kepada Nabi Shallallaahu Alaihi Wasallam seorang lelaki buta, kemudian ia berkata, ‘Wahai Rasulullah, saya tidak punya orang yang sanggup menuntunku ke masjid, kemudian dia mohon kepada Rasulullah supaya diberi dispensasi dan cukup shalat di rumahnya.’
Maka Rasulullah memperlihatkan dispensasi kepadanya. Ketika dia berpaling untuk pulang, dia (Rasulullah) memanggilnya, seraya berkata, ‘Apakah engkau mendengar bunyi adzan (panggilan) shalat?’, ia menjawab, ‘Ya.’ Beliau bersabda, ‘Maka hendaklah kau penuhi (panggilah itu)’”.
Maka Rasulullah memperlihatkan dispensasi kepadanya. Ketika dia berpaling untuk pulang, dia (Rasulullah) memanggilnya, seraya berkata, ‘Apakah engkau mendengar bunyi adzan (panggilan) shalat?’, ia menjawab, ‘Ya.’ Beliau bersabda, ‘Maka hendaklah kau penuhi (panggilah itu)’”.
(HR. Muslim)
Rasulullah bersabda: “Barangsiapa pergi ke masjid baik pagi atau sore hari, maka Allah akan menyediakan satu daerah tingal di nirwana setiap kali dia pergi.”
(Muttafaq Alaih)
Ibnu Mas’ud berkata: “Barangsiapa ingin berjumpa dengan Allah sebagai seorang muslim, hendaklah benar-benar menjaga shalat pada waktunya ketika mendengar bunyi adzan. Sesungguhnya Allah telah menganjurkan kepada Nabimu langkah-langkah untuk mendapat kebaikan yaitu, shalat berjama’ah di masjid yang diserukan adzan di dalamnya. Seandainya kau shalat di rumahmu…maka berarti kau telah meninggalkan sunnah Nabimu. Jika kau meninggalkan sunnah Nabimu, maka sesatlah kamu.”
Ali bin Abi Thalib ra. berkata: “Barangsiapa dari tetangga masjid mendengar permintaan adzan kemudian dia tidak memenuhinya sedang dia dalam keadaan sehat, tidak ada udzur (halangan), maka tidak ada shalat baginya.”
Diriwayatkan, suatu ketika Khalifah Umar bin Khathab mendapati beberapa kelompok yang tidak shalat berjamaah. Maka dia bertanya: “Apa sebabnya orang-orang itu tidak datang? Hendaknya mereka tiba ke masjid atau saya kirimkan kepada mereka orang-orang yang akan menebas batang leher mereka.” Kemudian Umar berseru dengan bunyi yang lantang, “Datanglah ke shalat jamaah, datanglah ke shalat jamaah, datanglah ke shalat jamaah!”
Ibnu Abas berkata: “Barangsiapa mendengar seseorang yang adzan, dan tidak memenuhinya, maka terang orang itu tidak dikehendaki Allah menjadi orang baik dan tidak pula menghendaki adanya kebaikan untuk dirinya.”
Demikianlah firman Allah, hadis Nabi dan komentar para tokoh sobat wacana pentingnya shalat berjamaah di masjid. Sedangkan ulama sehabis mereka, khususnya para imam-imam madzhab walaupun berbeda pendapat dalam memilih hukumnya, namun mereka bersepakat meninggalkan shalat berjamaah tanpa ada udzur yaitu perbuatan yang sangat tercela. Para ulama madzhab Hanafi dan Maliki bahkan tetapkan bahwa meninggalkan shalat berjamaah yaitu berdosa, walaupun mereka menghukuminya sebagai sunnah muakkad.
Adapun udzur yang di bolehkan untuk meniggalkan shalat berjamaah ialah: sakit atau bepergian. Mengerjakan hal yang sangat perlu, contohnya sangat lapar, perlu makan dahulu. Takut kehilangan harta, atau takut terhadap suatu gangguan, atau sedang sangat mengantuk. Takut akan gangguan hujan, Lumpur, banjir, angin topan, dan keadaan sangat gelap gulita.
Bila kita renungkan uraian di atas, ternyata shalat berjamaah harus dilaksanakan di masjid, yang bunyi adzan hingga pada rumahnya, kecuali kalau ada udzur yang dibolehkan, maka barulah dilaksanakan di rumah, namun tidak bagi kaum muslimat. Bagi mereka, shalat di rumah lebih utama daripada shalat di masjid. Ini berdasarkan larangan Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wasallam kepada suami atau wali supaya tidak menghalangi kaum muslimat mengikuti shalat berjamaah di masjid.
Rasulullah bersabda, “Janganlah kau menghalangi para perempuan keluar ke masjid, sedang rumah-rumah mereka lebih baik baginya.”
(HR. Abu Daud dari Ibnu Umar)
Dalam hadis lain “Jangan kau menghalangi hamba-hamba Allah (para wanita) pergi ke masjid Allah. Dan hendaklah mereka keluar ke masjid dengan tanpa wewangian.”
(HR. Abi Daud dari Abu Hurairah)
Terkait hal di atas, Prof. Dr. Hasbi Ash Shiddiqy setelah mengedepankan hadis-hadis wacana larangan “mencegah kaum perempuan pergi ke masjid” dan hadis yang menerangkan “kaum perempuan lebih utama shalat di masjid” berkomentar sebagai berikut;
“Apabila hadits-hadits dalam problem ini dikumpulkan semuanya dan di artikan satu per satu condong kepada pendapat Ibnu Harun, yakni: ‘Bukanlah yang lebih utama bagi perempuan shalat di rumahnya melainkan lebih utama bagi mereka shalat dengan berjamaah di masjid (dekat rumahnya).
Hadits yang menerangkan bahwa para perempuan lebih baik shalat di rumahnya, tak ada yang terlepas catatan atau dipermasalahkan keshahihannya. Andaikata kita pandang shahih, maka dia berlawanan dengan hadis yang nyata-nyata keshahihannya dan perintah nabi sendiri supaya perempuan pergi ke tanah lapang pada hari Ied.
Sekiranya para perempuan lebih baik shalat di rumah, tentulah para perempuan sobat tidak bersusah payah keluar di malam hari dan di waktu pagi hari untuk shalat berjamaah bersama Nabi di masjid. Seluruh hebat ilmu tetapkan bahwa Nabi tidak pernah melarang para perempuan menghadiri shalat berjamaah di masjid. Juga para Khulafaur Rasyyidin tidak pernah mengeluarkan larangan untuk itu.
Jika demikian, nyatalah bahwa perginya para perempuan ke masjid yaitu suatu “amalul ghoiri” suatu amal kebajikan dan kebaikan. Jika tidak, tentulah Nabi tidak akan membiarkan para perempuan pergi ke masjid.”
Hadits yang menerangkan bahwa para perempuan lebih baik shalat di rumahnya, tak ada yang terlepas catatan atau dipermasalahkan keshahihannya. Andaikata kita pandang shahih, maka dia berlawanan dengan hadis yang nyata-nyata keshahihannya dan perintah nabi sendiri supaya perempuan pergi ke tanah lapang pada hari Ied.
Sekiranya para perempuan lebih baik shalat di rumah, tentulah para perempuan sobat tidak bersusah payah keluar di malam hari dan di waktu pagi hari untuk shalat berjamaah bersama Nabi di masjid. Seluruh hebat ilmu tetapkan bahwa Nabi tidak pernah melarang para perempuan menghadiri shalat berjamaah di masjid. Juga para Khulafaur Rasyyidin tidak pernah mengeluarkan larangan untuk itu.
Jika demikian, nyatalah bahwa perginya para perempuan ke masjid yaitu suatu “amalul ghoiri” suatu amal kebajikan dan kebaikan. Jika tidak, tentulah Nabi tidak akan membiarkan para perempuan pergi ke masjid.”
EmoticonEmoticon