1. Cara Menganalisis Bentuk Puisi
Untuk menganalisis bentuknya, lebih dahulu kita amati puisi berikut.
2. Cara Menganalisis Isi Puisi
Cara menganalisis isi puisi umumnya sanggup difokuskan pada unsur bahasa (bunyi, kata, frase, kalimat), situasi, dan kondisi sosial budaya yang melatarbelakangi kelahirannya. Seperti kita ketahui setiap kata umumnya mempunyai makna dasar (denotasi) tertentu. Kata hujan, misalnya, mempunyai makna dasar titik-titik air yang berjatuhan dari udara lewat proses pendinginan. Akan tetapi, bagi penduduk yang kekurangan air, hujan berarti rahmat. Bagi tempat yang sering dilanda banjir, hujan berarti bencana. Rahmat dan tragedi ialah konotasi (makna tambahan) kata hujan.
Makna kata adakala diganti atau digeser ke makna lain sampai terjadi aneka macam majas. Bahkan pada 1970-an beberapa penyair memakai kata-kata yang tidak lumrah, tidak ada dalam kamus, mirip kata-kata yang dipakai dalam kebanyakan puisi Sutardji Calzoum Bahri.
Kecuali dengan kata, puisi juga dibangun dengan bunyi, rima, dan irama. Ketiganya tidak mempunyai arti, tetapi sanggup menjadikan rasa, bayangan, serta membangkitkan suasana tertentu. Kata yang dirangkai dengan rima dan irama estetis sanggup menggugah perasaan, pikiran, dan imajinasi. Dominasi vokal /u/, misalnya, menawarkan nuansa makna berat, gelap, keruh, sendu, sedih, dan lain-lain. Sebaliknya, dominasi vokal /a/ menawarkan nuansa riang, ceria, gembira, dan lain-lain.
Tidak ada penyair yang tinggal dalam kesendirian. Mereka selalu berada dalam suatu komunitas. Oleh alasannya itu, apa yang diungkapkan tentu berkaitan dengan lingkungan sosial budayanya, baik eksklusif maupun tidak. Masih ingat puisi Karangan Bunga? Puisi tersebut mengungkapkan kesan penyair dikala pada tahun 1965 melihat bawah umur SD dan Sekolah Menengah Pertama tiba ke Salemba, markas pejuang Angkatan 66, mengantarkan karangan bunga sebagai tanda berduka atas meninggalnya seorang mahasiswa dalam suatu agresi demonstrasi menuntut kebenaran dan keadilan?
Untuk menganalisis bentuknya, lebih dahulu kita amati puisi berikut.
Dengarkan tuan suatu riwayat,Puisi di atas terjadi dari bunyi, kata, frase, dan kalimat. Masing-masing ditata berlarik-larik dalam tipografi yang khas. Setiap larik terjadi atas 8 – 12 suku kata. Masing-masing disusun teratur, terus-menerus, susul-menyusul tanpa putus-putus. Bentuk keteraturan serupa itu disebut irama. Kata-katanya pun dipilih yang mempunyai kesamaan suara (rima), terutama kesamaan suara selesai larik. Bunyi selesai larik pertama, kedua, ketiga, dan keempat sama.
raja di desa negeri kembayat,
dikarangkan fakir jadi hikayat,
disajakkan dengan syair ibarat.C. Hoykaas, Penjedar Sastra
- Berdasarkan jumlahnya larik, puisi yang 2 larik per bait disebut distikon, 3 larik terzina, 4 larik kuatren, 5 larik kuin, 6 larik sektet, 7 larik septima, dan 8 larik stansa, dan 14 larik per judul soneta.
- Ditinjau dari rima selesai larik pada setiap baitnya, ada puisi yang mempunyai rima selesai dengan pola aaaa, abab, aabb, abba, abcabc, dan ada yang tidak berpola.
- Ditinjau dari panjang pendeknya larik, panjang pendeknya bait, keteraturan irama, keteraturan rima, dan tipografinya, ada puisi yang mematuhi “aturan” dan ada yang tidak. Puisi yang mematuhi “aturan” disebut puisi terikat; yang tidak mematuhi hukum disebut puisi bebas.
- Lebih dari itu, puisi sanggup dianalisis dari keberadaannya. Kalau pada zaman dahulu kala bentuk puisi yang dianalisis sudah ada, kita menetapkan bahwa bentuk itu termasuk puisi lama. Mantra, pantun, syair, karmina (pantun kilat), talibun, dan gurindam contohnya.
2. Cara Menganalisis Isi Puisi
Cara menganalisis isi puisi umumnya sanggup difokuskan pada unsur bahasa (bunyi, kata, frase, kalimat), situasi, dan kondisi sosial budaya yang melatarbelakangi kelahirannya. Seperti kita ketahui setiap kata umumnya mempunyai makna dasar (denotasi) tertentu. Kata hujan, misalnya, mempunyai makna dasar titik-titik air yang berjatuhan dari udara lewat proses pendinginan. Akan tetapi, bagi penduduk yang kekurangan air, hujan berarti rahmat. Bagi tempat yang sering dilanda banjir, hujan berarti bencana. Rahmat dan tragedi ialah konotasi (makna tambahan) kata hujan.
Makna kata adakala diganti atau digeser ke makna lain sampai terjadi aneka macam majas. Bahkan pada 1970-an beberapa penyair memakai kata-kata yang tidak lumrah, tidak ada dalam kamus, mirip kata-kata yang dipakai dalam kebanyakan puisi Sutardji Calzoum Bahri.
Kecuali dengan kata, puisi juga dibangun dengan bunyi, rima, dan irama. Ketiganya tidak mempunyai arti, tetapi sanggup menjadikan rasa, bayangan, serta membangkitkan suasana tertentu. Kata yang dirangkai dengan rima dan irama estetis sanggup menggugah perasaan, pikiran, dan imajinasi. Dominasi vokal /u/, misalnya, menawarkan nuansa makna berat, gelap, keruh, sendu, sedih, dan lain-lain. Sebaliknya, dominasi vokal /a/ menawarkan nuansa riang, ceria, gembira, dan lain-lain.
Tidak ada penyair yang tinggal dalam kesendirian. Mereka selalu berada dalam suatu komunitas. Oleh alasannya itu, apa yang diungkapkan tentu berkaitan dengan lingkungan sosial budayanya, baik eksklusif maupun tidak. Masih ingat puisi Karangan Bunga? Puisi tersebut mengungkapkan kesan penyair dikala pada tahun 1965 melihat bawah umur SD dan Sekolah Menengah Pertama tiba ke Salemba, markas pejuang Angkatan 66, mengantarkan karangan bunga sebagai tanda berduka atas meninggalnya seorang mahasiswa dalam suatu agresi demonstrasi menuntut kebenaran dan keadilan?
- Isi puisi tak terbatas. Walaupun demikian, beberapa puisi mengungkapkan isi secara spesifik, mirip balada (kisah), elegi (ratapan), epigram (ajaran hidup), himne (pujian kepada Tuhan), ode (sanjungan kepada pahlawan), dan satire (kritik atas ketimpangan sosial).