Mendongeng mempunyai manfaat bagi tumbuh kembang anak. Lewat dongeng, anak akan mendapatkan pendidikan abjad serta merangsang kreatifitasnya. Di saat banyak orangtua telah meninggalkan kebiasaan mendongeng, tidak demikian halnya keluarga Muhammad Syarif Hidayat. Bahkan laki-laki yang berprofesi sebagai pengusaha ini turut serta dalam membacakan dongeng untuk anaknya.
Menurut Syarif sebagai ayah beliau merasa perlu ambil cuilan dalam kegiatan mendongeng maupun membacakan buku bagi anak-anaknya. Tak hanya bertujuan mendekatkan diri dengan buah hati, tapi juga menyelaraskan tugas orangtua dalam mendidik anak.
“Saya percaya dalam mendidik anak, ayah harus satu frekuensi dengan ibu. Makara tidak hanya tanggungjawab ibu saja atau pengasuhnya. Semua harus kompak,” katanya.
Ilustrasi
Dongeng dan buku ialah satu di antara media dalam mendidik anak-anaknya. Syarif menyampaikan dongeng dan buku dongeng mempunyai tugas penting dalam pendidikan dan perkembangan mereka.
Mulai dari pendidikan karakter, pengetahuan sosial budaya, sains dan wawasan lainnya ihwal dunia dan kehidupan. Anak-anak akan lebih gampang mencerna nilai-nilai positif dalam dongeng yang terkandung di dalam suatu cerita. Sebab, mereka sanggup berguru dengan cara yang menyenangkan disertai imajinasi.
Sebagai orang yang gemar membaca dongeng ketika masih kecil, Syarif mencicipi manfaat yang besar dari kebiasaannya tersebut. Dulu ayahnya sering membawakan buku kisah nabi dan rasul.
“Dalam dongeng atau cerita, sering terkandung nilai-nilai dan bagaimana cara menghadapi suatu masalah. Mungkin ketika itu kita tidak sadar ihwal nilai-nilainya, tetapi suatu ketika kita akan menghadapi problem yang menciptakan kita teringat dongeng yang pernah kita dengar atau baca. Sehingga kita jadi tahu bagaimana penyelesaiannya,” sebut laki-laki tersebut.
Ia ingin anak-anaknya mempunyai wawasan luas dengan mengetahui dongeng dan cerita-cerita semenjak kecil. Apalagi tantangan yang dihadapi seiring bertambahnya usia akan semakin komplit. Orang yang punya wawasan, sanggup mencari solusi dari setiap problem hidup tidak hanya dari satu perspektif menyerupai beling mata kuda, tapi dari banyak sekali sisi.
Syarif tidak membatasi jenis dongeng atau buku dongeng yang patut diketahui anaknya. Asalkan yang bermuatan positif, mulai dari buku dongeng agama, fiksi, dongeng nusantara maupun mancanegara boleh dikonsumsi.
Tak heran kalau putri sulungnya, Nareswari Shifa Kayana yang biasa disapa Chipa tumbuh menjadi anak yang gemar membaca. Anak berusia delapan tahun itu sering membawa buku kemana-mana. Tak jarang Chipa minta dibelikan buku saja sebagai hadiah.
Ketertarikan Chipa pada dongeng dan buku dongeng bermula ketika kakek nenek yang dipanggilnya eyang, membacakan dongeng. Dari situ Syarif melihat putrinya merasa bahagia sehingga melanjutkan kebiasaan itu bersama sang istri, Ayu, untuk semua belum dewasa mereka. Kini tak hanya Chipa, dua adiknya pun suka mendengarkan dongeng dan dongeng.
“Ternyata dongeng besar lengan berkuasa pada Chipa. Dia jadi gemar membaca,” sebut Syarif.
Ia menambahkan, manfaat dari menceritakan dongeng atau membacakan buku bukanlah dari seberapa cepat anak bisa membaca. Sebab, suatu hari nanti, mereka niscaya akan bisa membaca sendiri.
Tapi, keuntungannya dari kualitas bacaan tersebut, yang menciptakan anak bisa menyerap nilai, menambah pengetahuan dan memperlihatkan pendidikan abjad bagi mereka. Memfasilitasi belum dewasa dalam mendapatkan pendidikan ini ialah tugas keluarga.
Tingkatkan Budaya Membaca
Buku ialah gudang ilmu dan membaca ialah kuncinya. Pepatah itu dulu sering terdengar. Namun ironisnya, tak banyak anak Indonesia yang suka membaca. Hal itu pun tidak menjadi kerisauan bagi orangtua yang menganggap biasa saja bagi anak untuk menghabiskan waktu lebih banyak di depan televisi. Padahal di negara lain, terutama negara maju telah membiasakan belum dewasa untuk membaca semenjak usia dini. Para orangtua tak enggan membacakan dongeng maupun dongeng bagi putera puteri mereka.
Kebiasaan membaca menjadi cikal bakal tumbuhnya manusia-manusia yang berpikiran kritis. Ini akan mensugesti sumber daya insan (SDM) suatu bangsa. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan telah mencanangkan aktivitas 15 menit membaca semenjak 2015 lalu. Para siswa dibiasakan membaca buku minimal 15 menit sebelum melaksanakan kegiatan berguru mengajar di sekolah. Namun kebiasaan membaca ini sedari dini sudah harus ditanamkan oleh orangtua, bukan diperoleh di sekolah saja.
Pentingnya Pendidikan Keluarga Bagi Anak.
Melalui bacaan atau dongeng dongeng, orangtua sanggup membangun kedekatan dengan anak serta mentransfer nilai-nilai pendidikan. Orangtua merupakan guru pertama dan utama kehidupan anak-anak. Oleh lantaran itu, orangtua merupakan cuilan integral dalam proses pembelajaran. Walaupun nantinya belum dewasa akan memasuki dunia sekolah, tugas orangtua dalam pendidikan akan terus berlanjut.
Tak ada kesepakatan universal mengenai menyerupai apa keterlibatan orangtua tersebut. Hal itu bisa dalam banyak sekali bentuk, contohnya membantu anak mengajarkan PR di rumah, mengajarkan lagu, membacakan dongeng serta dongeng dan lainnya.
Dalam masyarakat masih ada yang beranggapan pendidikan di rumah dianggap lebih banyak menjadi tanggungjawab ibu sehingga tugas ayah dalam pengasuhan anak masih sangat minim. Padahal tugas ayah tak kalah penting.
Karena lebih banyak di luar mencari nafkah, maka kualitas dari pertemuan dengan anak ialah hal utama. Sebagai sosok pujian anak, ayah seharusnya bisa membangun jembatan kedekatan dengan buah hati.
Kedekatan Emosional Cegah Kenakalan Remaja
Kedekatan emosional pada orangtua semenjak kecil sanggup mengurangi kenakalan dewasa di masa depan. Banyak kenakalan dewasa yang terjadi dipicu perkara keluarga. Bukan hanya dalam keluarga tercerai berai tapi juga dalam keluarga utuh. Hal ini sering disebabkan orangtua dan anak kurang dekat. Mereka tidak bisa memahami satu sama lain. Padahal kalau keakraban dalam keluarga sudah terjalin semenjak dini, mungkin hal ini bisa dihindari.
Beberapa waktu belakangan banyak terdengar perkara yang melibatkan anak dewasa menyerupai pelecehan seksual dan pemerkosaan. Selain itu terdapat beberapa perkara lainnya dipengaruhi oleh buruknya pendidikan anak di keluarga dan lemahnya kontrol sosial atas anak.
Dilansir laman Sahabat Keluarga Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, pelopor sosial kemasyarakatan, Krisnina Maharani atau Nina Akbar Tanjung, menilai buruknya pendidikan anak di keluarga memperlihatkan minimnya pengetahuan orang renta dalam mendidik anak. Akibatnya, anak semakin jarang mendapatkan pendidikan yang penuh kasih sayang dan kesabaran.
Ia menyampaikan aktifitas kerja orang renta makin padat, susunan masyarakat makin kompleks dan lalu-lintas isu media dan digital makin deras. Seharusnya anak makin membutuhkan interaksi dan didikan nilai dari orang tuanya sendiri.
Revolusi Mental Dimulai dari Lingkungan Keluarga
Pemerintah telah mencanangkan gerakan revolusi mental rakyat Indonesia di segala bidang. Ini merupakan gerakan hidup gres dengan mengubah cara pandang, cara berpikir dan cara kerja. Termasuk dalam bidang pendidikan. Melalui revolusi mental, seluruh rakyat Indonesia bersama pemerintah berusaha memperbaiki abjad bangsa menjadi Indonesia yang lebih baik.
Nilai-nilai revolusi mental bisa dimulai dari keluarga. Sebab, keluarga ialah lingkungan pertama setiap individu dalam mendapatkan nilai dan norma yang membentuk abjad generasi muda. Namun ketika ini masih banyak orangtua menganggap pendidikan anak sudah terpenuhi di sekolah. Mereka bahkan menyerahkan sepenuhnya tanggung jawab pendidikan anak kepada sekolah. Padahal ada pendidikan yang seharusnya diberikan orangtua, tidak bisa digantikan di sekolah.
Menyadari pentingnya peranan orangtua dalam pendidikan generasi bangsa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan melahirkan Direktorat Pembinaan Pendidikan Keluarga. Tujuan pendiriannya untuk memperbesar tugas orangtua dalam mendidik anak. Terutama sebagai guru pertama bagi si buah hati dan yang utama dalam keluarga. Direktorat ini menjadi susukan bagi para orang renta dalam mencari isu semoga mengetahui perkembangan fisik dan mental serta akademik anak.