Tari sebagai Sarana Upacara Adat terdiri dari beraneka ragam jenis, apalagi di Indonesia yang masyarakatnya banyak yang masih percaya pada hal-hal bersifat sakral. Sebenarnya banyak tarian yang termasuk ke dalam tari upacara yang kurang begitu memenuhi kaidah tari. Gerak pada tari upacara sangat bergantung kepada naluri untuk bergerak tanpa mengindahkan segi estetika sebuah karya seni tari. Kadang-kadang para penari dalam tarian upacara melaksanakan gerakan disertai keadaan tidak sadar (trance). Hal tersebut terjadi lantaran ketika para penari mengungkapkan harapan yang ditujukan untuk Yang Mahakuasa atau Yang Didewakan, atau Yang Tertinggi Penguasa Alam, ia bergerak dengan segenap rasa dengan satu tujuan supaya permohonannya terkabul.
Melalui serangkaian upacara moral pada zaman sebelum masuknya agama ke Indonesia, tari menjadi cuilan tak terpisahkan dari kehidupan spiritualisme masyarakat Indonesia. Lambat laun, kesakralan tari upacara ini telah berkurang di beberapa daerah. Namun, di beberapa kawasan lain, ibarat Bali, meskipun sudah banyak tari upacara yang berubah fungsi, tari Bali tetap menjadi sebuah seni yang mempunyai nilai spiritualisme lantaran tari menempel dalam kehidupan sehari-hari masyarakatnya.
Tari lahir sebagian besar disebabkan kebutuhan akan adanya media dalam memberikan harapan kepada sesuatu yang dianggap Tuhan oleh manusia. Salah satu cara berkomunikasi
tertua dengan alam yang mengandung unsur tari yaitu penyelenggaraan upacara keagamaan. Upacara tersebut dilakukan sebagai cuilan yang tak terpisahkan dari moral istiadat mereka. Perwujudan permohonan dan komunikasi yaitu dengan membaca mantra diiringi gerakan-gerakan badan yang lahir secara impulsif sebagai ungkapan kegembiraan atau rasa syukur, juga sebagai permohonan atas doa. Lambat laun, hal tersebut menjadi sebuah tradisi.
Pernahkah Anda melihat sebuah upacara keagamaan di kawasan Anda? Bagaimanakah jalannya upacara tersebut? Adakah gerakan-gerakan yang terlihat ibarat menari dalam keadaan tidak sadar?
Orang yang sedang menari pada upacara keagamaan merupakan perwujudan ungkapan seluruh daya hidupnya terhadap yang dianggap Tuhan, ibarat pohon, patung, atau roh halus. Dengan paparan tersebut, Anda telah menemukan satu kata bantu dalam menemukan dan mengingatkan kembali pemahaman tari, yaitu ekspresi. Ekspresi yaitu ungkapan jiwa terdalam dalam wujud fisik sebuah ungkapan, bisa berbentuk gerak, coretan, senandung, dan lain-lain.
Tari yang dilihat pada upacara keagamaan atau kemasyarakatan itulah yang dikategorikan sebagai tari yang berfungsi sebagai tari upacara. Tarian yang berfungsi sebagai tari upacara yaitu tarian yang bertujuan untuk ritualisme tanpa mengindahkan keindahan dan bahan duniawi. Satu hal yang terpenting yaitu tercapainya atau tersampaikannya harapan mereka terhadap Tuhan mereka.
a. Tari Upacara Ritual (Upacara Keagamaan) Tarian upacara keagamaan yang bersifat magis ketika ini sudah jarang ditemukan. Namun, di Bali masih terdapat Tari Sang Hyang Jaran yang hingga sekarang masih dilakukan sebagai tari upacara untuk mengusir roh jahat. Penari meliuk-liukkan tubuhnya dan bergerak ibarat menunggang kuda dengan
menggunakan kuda yang terbuat dari bambu. Kemudian, penari bergulingan di atas bara api, tetapi tubuhnya tidak terbakar. Gerakan tubuhnya bergerak bebas lantaran dalam keadaan tidak sadar. Gerakan ini dilakukan impulsif mengikuti harapan hati tanpa didasarkan kaidah seni, tetapi memberikan gerakan ritmis yang tak disadarinya.
Ada lagi tarian lain yang merupakan salah satu peninggalan zaman prasejarah, yaitu Jatilan. Tari ini merupakan tarian dari kawasan Borobudur yang sangat bersahabat dengan upacara ritual memanggil roh hewan totem sebagai bala keselamatan dari roh jahat. Ritual ini dianggap sanggup menyucikan jiwa. Kadang-kadang pemainnya melaksanakan adegan yang pada kehidupan positif sangat mustahil
dilakukan. Mereka tidak terluka ketika menginjak bara api, memakan pecahan kaca, memecahkan kelapa dengan kepala tanpa merasa sakit atau terluka. Hal tersebut dilakukan pada ketika ndadi atau trance (Bali: kerawuhan, kesurupan, masuknya roh halus ke dalam tubuh) sebagai perwujudan
bahwa roh ‘hadir’ dan memberikan kekuatannya kepada masyarakat. Hal tersebut sanggup dilakukan lantaran mereka menari dengan gerakan spontan.
Tari upacara yang berfungsi sebagai media sarana upacara ritual keagamaan dilakukan masyarakat melalui serangkaian upacara moral yang bertujuan melindungi masyarakat dari
bencana, kejahatan, serta sebagai ungkapan permohonan supaya maksud dan keinginannya terkabul. Pada zaman primitif sebelum masuknya agama ke Indonesia, tari menjadi cuilan tidak terpisahkan dari kehidupan spiritualisme masyarakat Indonesia.
1) Tari Upacara Ritual yang Bersifat Sakral
Tarian jenis ini merupakan tarian suci dan keramat (sakral). Salah satu teladan tari upacara ritual yang bersifat sakral yaitu Tari Ngalage. Seperti pada upacara perayaan panen padi di Jawa barat, Tari Ngalage merupakan tarian sebagai bentuk ucapan terima kasih kepada Dewi Padi Pohaci Sang Hyang Sri. Dalam upacara tersebut, setumpuk padi diarak ke balai desa. Iring- iringan tadi didahului penari pembawa umbul-umbul warna-warni. Iringan yang terdepan yaitu umbulumbul terutama memakai warna merah putih sebagai lambang dua sisi sifat yang berlawanan, yaitu baik buruk, susah senang, dan dunia akhirat. Iring-iringan tersebut terdiri atas para pemikul padi dari bambu yang dibentuk sedemikian rupa sehingga akan menjadikan bunyi yang makin usang makin ramai dan menciptakan semangat iring-iringan lantaran umumnya jarak ke balai desa tidak mengecewakan jauh.
Di belakang barisan pemikul padi tersebut, ada lagi rombongan yang membawa alat-alat pertanian dan pembawa angklung serta alat tabuh dog-dog lojor. Kemudian, angklung serta dogdog lojor itu dibunyikan pada tempat-tempat tertentu di sepanjang perjalanan mereka. Setelah datang di balai desa, barulah mereka mempertunjukkan kemahiran menari sambil memainkan empat buah dogdog dan sembilan buah angklung.
Tari Rokatenda dari Flores juga memberikan verbal ungkapan rasa syukur lantaran hasil panen yang melimpah ruah. Tari ini dibawakan oleh penari muda-mudi kawasan Ende, Flores, dan Nusa Tenggara Timur.
Tari Mon dari Irian Jaya juga merupakan tari upacara ritual yang bersifat sakral. Tarian tersebut dibawakan oleh penari perempuan yang duduk melingkari pohon tempat arwah. Mereka dilingkari oleh para penari laki-laki dengan posisi berdiri. Tarian ini merupakan tarian pemujaan terhadap arwah nenek
moyang.
2) Tari Upacara Ritual yang Bersifat Magis
Tarian ini bekerjasama dengan hal-hal mistik (magis). Salah satu teladan tarian upacara yang bersifat magis yaitu Tari Sang Hyang Jaran dari Bali. Tarian ini sebagai ungkapan permohonan keselamatan, yang mengandung unsur magis dengan menginjak-injak bara api, membawa simbol kuda dibentuk dari jerami, dan penari bergerak kerawuhan/trance. Dipercaya kekuatan magis menjadi faktor penguat relasi komunikasi dengan sang Dewa. Tari Sang Hyang yaitu tari upacara keagamaan sebagai cara insan membentengi dirinya dan menolak ancaman dari alam atau faktor lain. Pembawaan penari tidak sadarkan diri memang menjadi secara umum dikuasai dalam tari sejenis. Dalam keadaan trance, penari mempunyai kekuatan dan kemahiran di luar kemampuan insan pada
umumnya. Kesempatan inilah yang dipakai untuk meminta sesuatu kepada Sang Hyang sesuai dengan apa yang dibutuhkan masyarakat Bali.
Contoh tarian lainnya yaitu Tari Warung Kelumbut dari Sumba Timur. Tari ini merupakan perwujudan kepercayaan kepada hewan totem oleh masyarakat setempat. Masyarakat Kecamatan Merabu menarikan tarian ritual magis ini dengan menggandakan hewan totemnya. Masyarakat percaya bahwa insan dan hewan sanggup hidup berdampingan sehingga ada persatuan yang bersifat mistis yang sanggup menjaga satu sama lain, tidak saling merusak dan mengganggu. Jika terjadi persatuan mistis, insan akan kerasukan atau tak sadar diri.
Tari Sintren merupakan tarian bersifat magis yang berasal dari Cirebon, Jawa Barat. Tari ini menampilkan seorang penari yang sekujur tubuhnya diikat tali, kemudian ditutup kurungan
ayam yang ditutupi kain. Hanya dalam beberapa ketika ketika kurungan ayam dibuka, penari tadi sanggup melepaskan diri dari ikatan. Kemudian, ia menari dalam keadaan tidak sadarkan diri. Selama tarian berlangsung, penari akan terkulai lemas apabila penonton melempari uang logam ke arahnya.
upacara keagamaan. Tarian yang bersifat magis lain, contohnya Tari Kuda Kepang dan Tari Piring. Pada cuilan tertentu dalam Tari Piring, penari menginjak piring menjadi pecahan kecil.
b. Tari Upacara pada Kegiatan Kemasyarakatan yang Bersifat Sakral, Contoh tarian jenis ini, yaitu:
1) Tari ritual perkawinan moral Mentawai, Sumatra Barat.
2) Tari Ngarot dari Cirebon, yaitu tarian yang diselenggarakan untuk mempertemukan cowok dan pemudi di kawasan dan antardaerah sebagai bentuk relasi interaksi sosial yang mengandung unsur sakral.
3) Upacara sebagai permohonan restu untuk membangun rumah yang diungkapkan dengan Tari Seru Kajo Noo Gawi oleh masyarakat Flores.
4) Tari Kabokang dari Sumbawa sebagai bentuk menyambut kelahiran bayi.
5) Tari Wolane dari Maluku menyambut kelahiran bayi.
6) Tari Kanja, yaitu Tari Perang. Anehnya, tarian ini dipertunjukkan pada upacara Maulid Nabi Muhammad Saw. dan menyambut jagoan perang.
Dari uraian tersebut, sanggup ditemukan ciri-ciri tari yang berfungsi sebagai tarian upacara, yaitu sebagai berikut:1) Dilakukan pada kegiatan ritual keagamaan yang bersifat sakral dan magis serta pada kegiatan kemasyarakatan yang bersifat sakral.
2) Gerakannya sangat sederhana lantaran gerak merupakan ungkapan impulsif sebagai ungkapan dalam menjembatani kehendak jiwa para penarinya.
3) Gerakannya monoton dan banyak pengulangan.
4) Perwujudan sajian tari (waktu, aturan) erat dengan tujuan penyelenggaraannya.
5) Musik terdengar monoton.
6) Menggunakan alat musik sederhana dan seadanya.
7) Penyajiannya tidak menyentuh segi artistik.
8) Inti dari gerak tari ini yaitu terkabul atau tersampaikannya tujuan.
Keberadaan jenis tari yang berfungsi sebagai tarian upacara sangat sulit untuk diikuti keberlangsungannya. Ada perbedaan yang menonjol dibanding antusiasme masyarakat menganggap tradisonal yaitu ortodoks, sebagai efek budaya kekinian yang metropolis.
Namun, di wilayah timur Indonesia, tari tradisional masih lekat dalam kehidupan. Masyarakat menempatkan moral istiadat membaur dengan kebutuhan dan pola hidup mereka. Lambat laun, dalam kurun waktu yang usang menjadi sebuah tradisi yang mempunyai nilai seni yang tinggi.